[caption id="attachment_287455" align="alignright" width="299" caption="(foto: www.photoalberta.ca)"][/caption] Pada langkah kesekian dari pintu lobi hotel, Ratna telah mengambil keputusan. Dalam sekerlap bunga kilat, ia mendapatkan ketetapan hati. Ratna berbalik arah. Kali ini tak ragu.
“Pulang lagi, Bang. Ada yang ketinggalan,” bahkan taksi yang ia naiki belum meninggalkan teras hotel.
“Sorry Leo, aku nggak bisa datang,” pesan singkat ia kirimkan. Handphone ia matikan. Ratna tak ingin lelaki itu mencecarnya, kemudian membuatnya luluh dan kembali mengubah keputusan, seperti dua kali pertemuan sebelumnya.
Ratna berulangkali memejam, seperti ingin menepis riuh iklan-iklan yang berkelebat di jalanan. Ia berharap ini hanya mimpi yang berakhir begitu mata terbuka. Namun gemuruh jantungnya selalu menyangkal: yang ia alami bukanlah mimpi.
Serasa pesakitan dalam detik-detik eksekusi, fragmen-fragmen berloncatan dalam ingatan. Seminggu lalu, ia masih seorang isteri yang utuh. Tanpa cacat. Lalu Leo, seorang staf di kantornya, mengubah semuanya.
*****
“Kita hidup di dunia yang berubah, Ratna. Bacalah koran, 64 persen wanita mengaku ngelakuinnya. Jumlah itu lebih besar kalau aku ikut ngaku,” dengan tawa ringan, Grace mengatakan itu sebulan lalu.
Atau di lain hari, “Noda itu seperti kutil, Ratna. Orang nggak akan bilang kita kutilan kalau mereka nggak tahu”.
Kata-kata sahabat sekantornya itu adalah hujan yang mengguyur benak, membuatnya basah kuyup setiap kali bertemu. Dan hatinya bukanlah karang. Keyakinannya terkikis. Longsor.
Lalu Ratna membuka jalan untuk Leo, lelaki yang begitu gigih menyita pikirannya. Hingga satu pagutan di bibir tak ia sadari sebagai mata kail yang tak mudah dilepaskan. Ia menyerah total. Moralitas akhirnya hanyalah baju zirah yang pecah berantakan oleh luapan hasrat sendiri.
*****
“Mbak sudah sampai,” sopir taksi menyadarkannya.
Ratna bimbang melangkah. Ia tak tahu sanggupkah seterusnya mendustai Handoko, suami yang kesetiaannya tak pantas ia nodai.
Ia putar slot pintu. Terkunci. Ada suara dari kamar depan. Tentu bukan anak-anak, karena mereka telah ia titipkan di rumah ibunya.
Dari celah gordin Ratna mencari tahu. Ia gemetar seketika. Meski berbaur desah, ia mengenali suara itu.
“Isterimu pasti sudah ditenggelamkan Leo,” suara Grace, ia yakin itu sahabatnya.
“Apa peduliku, Sayang. Itu justeru melapangkan jalan kita”. Handoko, itu suara suaminya.
Ratna merasa ada yang retak dalam rongga batinnya. Ia memejam. Berharap semua hanya mimpi. Namun mimpi itu kini justeru memekat dalam matanya.
Jakarta, Oktober 2010 “Sefiktif apapun flash fiction, ‘ia’ adalah hasil refleksi dari kenyataan. Senyata apapun sebuah flash fiction, ‘ia’ tetaplah sebuah fiksi.”
Catatan: Data 64 persen pasangan pernah selingkuh adalah hasil riset yang pernah dipublikasikan Sexual Attitude and Lifestyle.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H