[caption id="attachment_107652" align="alignleft" width="345" caption="(foto: purwasuka.web.id)"][/caption] Hari itu, 12 Mei 1998, tak akan pernah kita lupakan, empat orang mahasiswa Universitas Trisakti tersungkur dan gugur di depan kampus mereka sendiri dan oleh peluru bangsa sendiri. Lalu, Jakarta dan Solo begitu cepat terbakar oleh amarah. Hanya berentang dua hari, ratusan instrumen bisnis luluh lantak oleh massa yang menjelma amurka. Tak pernah jelas berapa nyawa yang tanggal di hari itu, namun bisa dipastikan lebih dari 1500 jiwa. Sementara ribuan orang yang lain dinistakan secara rasial, dan sebagian dari mereka dihinakan dengan pemerkosaan seksual. Hari itu, kita masih ingat, Jakarta dan kota-kota besar lain begitu gaduh dilanda protes yang berdengung dari balik pagar kampus. Setelah unjukrasa yang menggemuruh dan melelahkan sepanjang enam bulan, hari itu eskalasi gerakan tengah mendaki klimaks. Namun itu semua tetap tak bisa menjelaskan pada kita, mengapa tragedi itu terjadi di Trisakti, kampus tempat anak-anak borju (anak-anak orang kaya dalam bahasa gaul mahasiswa) berkuliah. Jika para pengawal pemerintah itu berniat menyampaikan ’sinyal’ pada pengunjukrasa, mengapa tidak mereka lakukan di kampus yang memiliki tradisi gerakan, misalnya Universitas Indonesia atau IAIN Syarif Hidayatullah. Toh, unjukrasa di siang itu, juga belum melanggar ’garis merah’ keamanan pemerintah. Tiga belas tahun berlalu, kini pertanyaan itu kembali membayang. Di layar kaca kita menyaksikan, misteri atas peristiwa itu dan proses hukumnya tak kunjung terang, ditayangkan berulang-ulang, seperti mimpi yang berkelebat dari sisi gelap ingatan kita. Padahal kita tahu, ada bagian yang hilang dan terdistorsi dalam narasi tayangan televisi tersebut. Aktivis yang terbunuh oleh peluru Orde Baru bukan hanya empat mahasiswa, dan tragedi Trisakti hanyalah satu fragmen dalam lintasan pergerakan mahasiswa yang panjang. Sebelum darah tumpah di depan Trisakti, kita mencatat, 20 aktivis lenyap dibekap serdadu antah berantah. Dua belas orang di antaranya tetap tak terendus nasibnya hingga kini. Lantas empat bulan setelah Soeharto menyerah, di Semanggi, 17 nyawa demonstran adalah harga yang mesti dibayar untuk memastikan Orde Baru tak berlanjut di bawah B.J. Habibie. Di tempat yang sama, setahun kemudian, 11 lembar jiwa kembali menjadi korban ketika mahasiswa menolak UU Penanggulangan Keadaan Bahaya. Kita mencatat, penegakan hukum atas semua tragedi itu masih menyusuri lorong gelap hingga saat ini. Kita juga merasakan, ada yang terdistorsi ketika banyak penafsiran yang mengkroping gerakan mahasiswa 1998 hanyalah sebatas Jakarta. Di bulan terakhir kekuasaan Soeharto itu, demonstrasi mahasiswa sesungguhnya tak hanya berkait dengan carut-marut politik, namun juga berhubung dengan social current. Semacam tren yang berlaku sesaat namun masif. Di Jakarta dengan kampus yang berserak di setiap sudut kota, kecenderungan ini membuat unjukrasa selalu lebat oleh peserta. Para aktivis biasa menyebutnya dengan ’massa cair’ sebagai pembeda dengan mereka yang terdidik dalam organ gerakan. Nyaris tak pernah terkabarkan, demonstrasi yang membahana di Senayan itu sejatinya bagian dari pengorganisasian yang telah dilakukan jauh hari sebelum krisis ekonomi menghempas pada akhir 1997 silam. Upaya menebar jejaring gerakan itu bahkan telah dilakukan jauh sebelum kemelut 27 Juli 1996 tersulut. Dan juga tak pernah terungkapkan, itikad memperkukuh jaringan gerakan itu mesti dilakukan dari kota ke kota, dengan diam-diam dan penuh rasa was-was. Misalnya, ’hanya’ demi menyepakati penolakan pencalonan Soeharto sebagai isu gerakan, mahasiswa dari segala penjuru Jawa mesti mengendap-endap untuk berkumpul di Jakarta, lantas ke Purwokerto, Jogja, Solo hingga Surabaya. Gerakan mahasiswa, kita tahu, memang bukanlah independent variable dari proses perubahan 1998. Krisis ekonomi lebih layak di tempatkan dalam posisi itu. Namun siapapun tak bisa menepis kenyataan, gerakan mahasiswa telah menjelma pedang Sopocles ketika keadaan memang membutuhkannya untuk memenggal nasib kekuasaan yang dzalim. Oleh karena itu peneliti LIPI, Muridan S. Widjojo menyebutnya dengan kalimat yang gagah, gerakan mahasiswa 1998 sebagai penakluk Orde Baru. Karena itu terasa aneh jika kemudian puluhan nama korban itu tak masuk lagi dalam daftar ingatan kita. Bahkan penelisikan carut-marut kemanusiaan itu tetap berputar-putar di lorong gelap, meski sejumlah eks aktivis mahasiswa kini telah duduk 'ngapurancang' di sekitar tahta kekuasaan.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H