[caption id="attachment_280706" align="alignright" width="289" caption="(foto: eriek.wordpress.com)"][/caption] Begitu kutekan tombol televisi, dari balik layar kaca lidah kilat menyambar mata dan benakku. Aku merasa kesadaranku hangus seketika. Namun dalam keadaan limbung aku masih bisa mendengar suara presenter, “Kecelakaan di Stasiun Petarukan Pemalang ini setidaknya merenggut...” Aku terhuyung ke belakang. Dalam kelebatan detik, rasa sesal menyergapku. Kenapa aku datang ke kantor sepagi ini. Kenapa sebelum berangkat tak kunyalakan televisi seperti pagi-pagi sebelumnya. Kenapa kubiarkan Eyang Putri sendirian di rumah. Kuhimpun sisa-sisa kesadaran. Kuhembuskan nafas seperti menghempaskan hawa racun dari tubuhku. Lalu aku berlari ke arah motor yang bau knalpotnya masih menusuk hidung. Aku menjelma Valentino Rossi, meliuk di antara kendaraan lain, melahap tikungan dengan keyakinan penuh. Aku serasa mengendarai kereta Jaladara yang melintasi mayapada dengan kecepatan cahaya. Beberapa kali peluit polisi melengking, namun aku mendengarnya seperti terompet sangkakala, penanda perang telah dimulai. Namun entah kenapa jarak kantor-rumah yang biasanya hanya sepeminuman teh, kini terasa jauh dan lama. “Eyang!” darahku terkesiap ketika kulihat Eyang duduk di depan televisi yang menyala. Hampir saja kumatikan televisi, namun kuurungkan ketika yang kulihat di layar hanyalah Sundari Sukoco dengan lagu “Sepasang Mata Bola”. “Ada apa Tole?” Eyang heran. “Biarkan saja DVD itu. Eyang suka lagu ini.” “Iya Eyang, aku juga suka,” jawabku sambil menggamit remote control televisi. Aku bergegas ke belakang rumah, lalu kubanting remote hingga hancur. Setelah itu antena yang terpasang di tembok belakang kuturunkan. Aku remuk benda tak bernyawa itu hingga berkeping-keping. Aku menatap benda-benda itu dengan dendam Bima terhadap Duryudana, pada akhir kisah Baratayuda. “Eyang,” tubuhku gontai lantas jatuh di pangkuannya. “Ada apa kok tiba-tiba seperti anak kecil,” Eyang masih heran. “Putus lagi dengan pacarmu?” “Iya Eyang, aku putus lagi,” mendadak alasan itu tersodor di depanku. “Sudahlah Tole, mungkin belum jodoh. Kalau sudah jodoh kelak pasti datang sendiri”. Kubiarkan Eyang membelaiku dengan dugaannya sendiri. Ia tidak boleh tahu, pagi ini televisi menayangkan berita kecelakaan kereta. Sebab tiga kali ia menyaksikan berita seperti itu, tiga kali pula ia dilarikan ke rumah sakit karena jantungnya. Aku telah bersumpah, setelah lima tahun lalu kereta api merenggut hidup ibu, ayah dan adikku, bayangan gerbong jahanam itu tak boleh lagi mengambil nyawa keluargaku.
Purwokerto, 4 Oktober 2010 Sefiktif apapun flash fiction, 'ia' adalah hasil refleksi dari kenyataan. Senyata apapun flash fiction, 'ia' tetaplah sebuah fiksi". Catatan: Cerita sekilas ini terinspirasi oleh tulisan Mas Ramdhani Nur yang berjudul "Menjaga Ibu".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H