[caption id="attachment_116482" align="alignleft" width="300" caption="(foto: vidisha-beyondwords.blogspot)"][/caption] Solo, 00.36 WIB. ”Dia menunggumu sejak maghrib, tapi baru tidur sejam lalu.” Ini sudah sering terjadi. Tapi tetap menyeruak sesal jika membayangkan setebal apa gelisah yang meluruhi mata bulat bocah ini, sepanjang sore tadi. “Ada acara mendadak di Jogja,” kataku sembari mengusap kening bocah yang tertidur itu. “Aku juga gak lama di sini. Jam satu harus ke Semarang, jam tujuh ada janjian dengan orang provinsi. Sampaikan padanya, minggu depan aku datang lagi.” “Gak apa-apa, dia selalu bisa memahami ayahnya.” Perempuan itu, ibu bocah itu, mengatakan dengan intonasi yang datar, tetapi, “…dia selalu bisa memahami ayahnya”. Ah sepatah kalimat itu menjelaskan banyak hal: betapa tak mudah bocah itu mendapatkan waktu yang cukup dariku. Kalimat itu mengalir apa adanya, setenang air, lalu menjadi kristal es. Menusuk ruang sesal yang terdalam. Aku tulis pesan singkat, “Bapak, mohon maaf besok saya menghadap jam satu siang. Pagi ini saya ada kepentingan keluarga.” Tak lagi kupikir, etiskah pesan itu kukirimkan. “Jika kau ijinkan, aku akan tidur di sini,” sungguh tak mudah itu diucapkan lelaki yang telah lama meninggalkan rumahnya. “Ini rumahmu kan. Mas bisa tinggal di sini sesuka Mas,” lagi-lagi datar. “Ya, tapi kita telah menjadi orang lain, Adik,” jawabku spontan. “Kau sebut ‘orang lain’ untuk perempuan yang melahirkan anakmu?” tetap datar, tetapi aku sangat mengenal wajahnya yang kecewa. “Bukankah ini hidup yang kau inginkan?” terlanjur basah, berargumentasi sekenaku. Ia tersenyum, lalu, “Aku melepasmu demi hidup yang kau harap. Seperti yang kau katakan, hidup bebas dari batasan norma yang sempit.” Aku terdiam, serupa bidak tersudut di papan catur. Lantas ingatan seperti album tua berkelebat. Perempuan itu telah melewati hari-hari yang tak mudah. Ia mengandung anakku ketika belum siap menjalaninya, dan sewaktu aku masih menampik keterikatan. Lalu pernikahan hanyalah eksperimentasi yang gagal. “Jangan berpikir aku mengharap lelaki lain. Dalam sisa hidupku, aku hanya memiliki satu keinginan. Membuktikan pada anakku, bahwa ibunya hanya mencintai lelaki yang ditakdirkan Tuhan menjadi ayahnya.” Kali ini ada airmata, dan suara yang bergetar. Tapi tak kulihat ketabahan meluntur. Ia masih seperti dulu. Ketulusan tak bertepi dan keindahan ragawi, nyaris tak berubah. “Gusti, biarkan malam ini tanpa ujung,” desah batinku. Solo, 01.00 WIB. Jakarta, Juni 2011"Sefiktif apapun flash fiction, 'ia' adalah hasil refleksi dari kenyataan. Senyata apapun sebuah flash fiction, 'ia' tetaplah sebuah fiksi."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H