Yth. Para Bapak Ibu Anggota DPR RI
Sebelumnya, latar belakang saya adalah seorang ayah dari 1 putri yang kini berusia 1 tahun 10 bulan. Mempunyai anak di tengah situasi negara ini, dimana kejahatan terhadap anak-anak terus meningkat, membuat saya begitu khawatir. Apalah daya anak-anak ini untuk melakukan perlawanan apabila pelakunya adalah orang-orang dewasa yang mempunyai tenaga yang jauh lebih kuat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap mereka.
Sering saya membaca berita mengenai tindakan kekerasan/aniaya, pelecehan seksual, dll yang membuat hati saya berdetak kencang sekaligus marah. Karena korbannya adalah anak-anak Indonesia, para generasi penerus bangsa ini YANG SEHARUSNYA DILINDUNGI KESELAMATANNYA.
Mungkin selama ini saya sudah pada titik puncak “rasa tidak percaya” akan komitmen Bapak/Ibu dalam mewakili suara kami –rakyat Indonesia-, tapi saya tetap menuliskan surat ini. Mudah-mudahan Tuhan membuka pintu hati Bapak/Ibu melihat betapa suramnya perlindungan anak-anak Indonesia di negeri ini.
Bapak/Ibu bisa menyimak beberapa kasus dari ribuan kasus dimana anak-anak yang menjadi korbannya :
1. Kasus Anak NA (Mei 2015)
Anak perempuan itu tinggal di Jalan Benteng, Medan Helvetia, dan kerap disiksa oleh kedua orang tuanya. NA mengaku luka-luka dialaminya akibat dianiaya ibu tiri dan ayahnya. Di bagian kiri pipi bocah itu terdapat luka bekas jahitan. Katanya luka itu akibat disabet pisau. Telapak tangannya juga terlihat bekas luka bakar. Luka itu menurut dia akibat disiram minyak panas. Pada lengan kanan NA juga terlihat bekas luka karena dianiaya dengan parang. Sejumlah luka memar juga terlihat jelas di tubuhnya. Bahkan, tiga giginya tanggal karena dianiaya. "Dipukul pakai alu," kata NA.
Saat kabur sejauh 500 meter dari rumahnya, NA bertemu dengan Hasni, warga Jalan Benteng, Gang Dame. "Waktu itu aku mau beli beras. Dia datang, pakaiannya kumuh, enggak pakai sandal. Dia bilang, 'tolonglah aku Bu. Siapa yang mau pelihara aku," kata Hasni.
2. Kasus Utomo Poernomo dan Nurindra Sari, pelaku kekerasan terhadap anak-anaknya (Mei 2015)
Lihatlah alasannya setelah menganiaya dan menyekap anaknya , bahwa perbuatan ‘kerasnya” selama ini untuk pembentukan moral bagi anak-anaknya. “Anak saya empat perempuan dan satu laki-laki. Kalau tidak saya tanamkan disiplin yang baik, mau jadi apa mereka kalau sudah besar,” katanya di ruang tahanan Unit Jatanras, Polda Metro Jaya.
Sementara itu, Nurindra Sari, istri Utomo menyatakan, luka lebam yang selama ini terlihat di sekujur tubuh anak-anaknya itu hanya perkataan tetangga yang dinilainya berlebihan. “Luka di mana coba? Kalaupun ada, itu juga karena jatuh saat bermain atau lecet karena bermain bola. Mereka kan anak-anak, jadi wajarlah tubuhnya lecet karena terjatuh,” kata Nurindra.
3. Kasus Angeline Berawal dari berita hilangnya Angeline, beberapa hari ini rakyat Indonesia dikejutkan dengan berita bahwa Angeline dikubur di belakang rumahnya. Mayatnya sudah membusuk. Bahkan pengakuan satpamnya, dia sempat menodai Angeline setelah meninggal. Semasa Angeline hidup, sering disiksa oleh Ibu tirinya, Margaretha.
Bapak/Ibu Dewan yang terhormat, terima kasih bahwa kalian masih membuat UU Perlindungan Anak yaitu UU Nomor 23 Tahun 2003. Namun pertanyaannya, apakah UU tersebut sudah memberi keamanan pada seluruh anak-anak di Indonesia? Apakah sebanding ancaman hukuman penjara 3-15 tahun dibandingkan dengan masa depan anak-anak Indonesia yang rusak dan trauma yang mereka hadapi?
a. Seorang pemerkosa anak, hanya diancam maksimal 15 tahun penjara. Dipotong remisi dan lain-lain, mungkin dia hanya mendekam di penjara sekitar 10 tahun. Sedangkan korbannya akan dihantui trauma seumur hidupnya. Masa depannya bisa hancur. Kalau tidak didampingi, si anak bisa menjadi sangat rusak atau bahkan menjadi pelaku. Acapkali para pelaku kekerasan seksual mengakui bahwa mereka mengalami hal yang sama sewaktu mereka anak-anak.
b. Orang yang menyiksa anak-anak sehingga mengalami depresi dan luka fisik yang parah, Cuma diancam hukuman 3-15 tahun. Apakah itu sebanding dengan trauma yang dialami korban? Luka fisik dimana-mana bahkan ada yang sampai gegar otak atau cacat seumur hidup. Siapa yang bertanggung jawab terhadap anak-anak ini kelak setelah mereka dewasa? Sementara pelaku bisa melenggang bebas setelah dipenjara sekitar 10 tahun.
Terkadang saya merasa miris, apabila anggota Dewan ribut mengenai tunjangan yang kalian dapat, sibuk pergi ke luar negeri dengan alasan studi banding, atau bahkan akhir-akhir ini ribut saling menyerang antara pro KMP dengan pro PDIP. Sungguh miris melihat begitu aktifnya kalian bersuara mengenai pencalonan ketua KAPOLRI, namun kalian seolah menutup telinga terhadap maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak-anak Indonesia.
Ketua Komisi Perlindungan Anak dan Perempuan Dewan Perwakilan Rakyat Saleh Partaonan Daulay hanya mengatakan prihatin terhadap kasus Angeline dan berpendapat apa yang dialami Angeline tidak ber-prikemanusiaan. Hanya sebatas prihatin? Tidak tergugah kah untuk merivisi UU No 23 tahun 2003 dan menghukum siapapun pelakunya seberat-beratnya? Kalau dihukum 30-50 tahun penjara, bukankah orang akan berpikir ulang sebelum melakukan kejahatan terhadap anak-anak? Setidaknya meminimalisir orang-orang yang punya niat jahat terhadap anak-anak.
Tolong para Bapak/Ibu Dewan mempertimbangkan untuk revisi UU No 23 tahun 2003. Anak-anak Indonesia BERHAK untuk mendapatkan perlindungan yang layak dari negara ini. Dan negara ini WAJIB MELINDUNGI GENERASI PENERUSNYA. Bukan hanya sekedar melindungi, tetapi memberikan ancaman hukuman yang sangat berat terhadap setiap pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak-anak.
Terima kasih. Salam dari saya, JR
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H