Mohon tunggu...
Jari Pena
Jari Pena Mohon Tunggu... wirasastra -

kehidupan ini apapun ronanya sebenarnya hanya berujung pada satu muara yaitu : cinta,,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Sebuah Tulisan Diberi Angka

8 Februari 2018   16:11 Diperbarui: 8 Februari 2018   16:17 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Salah satu acara saya jika senggang adaslah menulis, menulis apapun jua, entah di status FB, mikroblogging di twitter atah di blog macam kompasiana. Jadi kegiatan menulis buat saya sebuah cara melepas  rutinitas setelah aktifitas lain. Mirip seperti petani setelah menyiang, membajak dan lainnya, saat senggang dia akan nembang, membuat keranjang atau di beberapa tempat di bali misal, banyak yang membuat patung. 

Semua itu dumaksud sebagai wujud penghargaan waktu, penghargaan hidup kepada alam. Apapun bentuknya mau jelek, mau bagus yang penting ada kegembiraan disana. Dulu saat saya masihy kecil, setiap ke sawah nenek selalu membuatkan wayang dari jerami, paman saya yang pinter untuk membuat profil tokoh pewayangan dan cara memainkannya. Petani di bali mungkin juga seperti itu, membuat patung tanpa harus dilihat baik buruk, nilai seni atau tidak.

Namun apa daya, kultur timur yang mengedepankan kebersamaan, tidak kuat menahan hembusan angin kapitalisme barat sehingga sesuatu harus dinilai entah angka atau lebih dalam lagi dengan angka dalam kertas alias uang. Entah kenapa tiba-tiba seorang turis memberi label seniman pada petani yang kesehariannya terhubung dengan alam. 

Entah bagaimana awalnya tiba=tiba mereka menjadi kenal komoditas yang bisa mendatangkan uang. Apakah salah? tidak, itu sebuah efek. Demikian juga tiba-tiba sebuah tulisan yang terbiasa untuk mengisi senggang diberi level angka untuk menunjukkan kredibilitas seseorang dalam ruang tertentu. Saya yakin pasti penulis yang biasa-biasa alami gegar budaya. Budaya timur yang mengedepankan kolegial kini harus bertemu dengan budaya ego dan berpacu dengan waktu untuk menampilkan tulisan yang bagus untuk diberi kerangka berupa angka?

Saya termasuk yang cuek dengan atribut ini, mau debutan mau apapun, kalau lagi ingin nulis, ya nulis, ohhh ya maaf saya bukan penulis hanya menuangkan greget hati saya lewat aksara, jadi mau dibaca orang atau tidak, mau diberi nilai atau tidak saya mah ga perduli. Buat saya ketika sebuah tulisan dikerangkakan dengan angka, mirip dengan bunga segar ditaruh dalm vas mahal. 

Bukan bunganya yang indah tapi vasnya, sedangkan bunga hanyalah pendamping vas agar tampilan vas lebih meyakinkan kalau itu mahal. Yang benar, biarkan bunga tumbuh dalam habitatnya karena keindahannya bukan untuk dipetik tapi dibiarkan menyatu dengan lingkungannya. Biarkan tulisan apapun mengalir tulus dari buah pikiran, bukan dikerangkakan dalam angka. Ahhhh tapi sudahlah, sebuah komoditas yang dibuat akan lebih menggelegar dibanding sekedar tulisan "homemade", biarkan saja toh setelah itu akan tenggelam dalam sunyi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun