Mohon tunggu...
Puisi Pilihan

Mamaku

8 Mei 2016   14:00 Diperbarui: 8 Mei 2016   14:45 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.axltwentynine.com

Orang menyebutnya wanita gila, tapi aku memanggilnya mama. Bukan, aku sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengannya. Tapi, karena kebetulan aku tidak mempunyai orangtua, maka aku mengangkatnya sebagai orangtuaku. Wanita gila ini adalah “mama” pertamadalam hidupku. Itu karena, orang yang seharusnya aku panggil sebagaimama, berdasarkan hubungan darah, sama sekali tidak mengakuiku. Dia meninggalkanku, yang masih bayi, begitu saja di samping sebuah warung kopi di dekat pasar. Untunglah, kakek yang menjaga warung kopi tersebut berbaik hati memungutku. Dan, semenjak itu hingga sekarang,aku diangkatnya sebagai cucu. Begitulah cerita kakek saat aku bertanya padanya tentang masa laluku.

Kakek angkatku tersebut, menatapku dengan pandangan menertawakan saat akumemperkenalkan wanita gila ini sebagai mamaku. Tapi, paling tidak, aku tidak perlu lagi malu kepada anak-anak yang bergelayutan manja di tangan mama mereka yang sering aku lihat di taman bermain kota. Jikamelihat mereka, aku pasti menghindar. Aku takut ditanya mengenai orangtuaku. Tapi, sekarang aku tidak perlu lagi malu. Mamaku telah berada di sampingku sekarang.

Tidak perlu aku janji-janji dari calon-calon presiden tentang kesejahteraan bagi rakyat kecil di negeri ini. Adanya seorang mama dan seorang papa sudah lebih dari cukup untukku mendapatkan prediket rakyat kecil yang sejahtera. Kalau saja para calon presiden itu datang ke kota kami, dan bertanya apa yang aku inginkan sebagai rakyat kecil dari mereka,aku tidak akan egois memikirkan diriku sendiri. Aku akan meminta agar dia memberikan mamaku seorang suami. Tidak perlu waras. Gila punjadi. Sayang, sampai sekarang tidak ada calon presiden satu pun yang datang ke kota ini. Bahkan setelah pemilu berakhir, tidak ada satu pun di antara mereka yang datang. Yah, mungkin di pemilu selanjutnya aku harap ada yang datang ke kota ini dan menjanjikan suami untuk mamaku, pasti aku akan memilihnya.

***

Aku bertemu dengan mamaku secara kebetulan. Saat itu aku sedang menikmati makan siangku di sebuah bangku yang terbuat dari bambu, di pinggir sebuah kompleks pemakaman. Aku adalah seorang pemulung ketika sedang tidak menjaga warung kopi kakek. Aku tidak sekolah. Kakek tidak memiliki cukup uang untuk itu. Tempat tinggalku adalah gubuk kecil,terletak tidak jauh dari bangku bambu yang berada di dekat komplek pemakaman tersebut. Gubuk ini milik kakek sebelum dia memulai usaha warung kopinya. Tempat ini sekarang dijadikan sebagai tempat untuk beristirahat para penggali kubur. Biasanya, ketika ada mayat yang akan dikuburkan, kakek akan dengan senang hati meminjamkan gubuknya. Dengan imbalan, para penggali kubur tersebut memesan kopi dan jajan di warungnya. 

Nah,ketika aku akan memasukkan suapan pertama makan siangku, seorang wanita datang. Dia berpakaian sangat kumuh, kotor, dan bau. Rambutnya beruban dan acak-acakan. Siapa pun yang melihat, pasti akan menutup hidung. Karena aku yang biasa bergumul dengan sampah pun, bisa mencium baunya. Dia pasti sudah tidak mandi selama bertahun-tahun. Ditangan kanannya terdapat sebuah boneka mainan berbentuk manusia. Diamenggenggam erat boneka tersebut. Aku pernah melihat boneka seperti itu di toko mainan. Kalau tidak salah namanya boneka Barbie.

Dia menatapku dengan pandangan yang tidak aku mengerti. Dia hanya menatapku tanpa melakukan gerakan apapun. Saat itu, aku ingin lari karena sedikit banyak, ada rasa takut yang muncul. Tapi, pandangan matanya membuatku tidak mampu bergerak pergi dari bangku ini. Ada sesuatu yang hangat muncul dari tatapan matanya. Aku tidak tahu atau pun mengerti apa itu. Tapi, aku bisa merasakannya. Karena itu, aku putuskan itu memasukkan suapan pertama yang tadinya sempat tertunda. Tepat saat suapan pertama telah meluncur kencang menuju perutku yang nyaris busung lapar, mamaku tiba-tiba mencium boneka yang ada di tangannya tadi. Lembut, dia membelai-belai kepala boneka tersebut. Tersenyum, dia memperlihatkan giginya yang kuning kepada boneka tersebut.

“Makanlah nak!”

Dia berkata seperti itu sembari tetap membelai-belai kepala boneka tersebut. Kemudian dia berpindah, bergerak menuju bangku tempatku makan. Dia duduk tepat di sampingku sembari masih membelai-belai benda kesayangannya. Aku beranjak sedikit dari tempat dudukku. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kemudian, tiba-tiba dia bernyanyi dengan kata-kata yang masih aku ingat jelas. Karena kata-kata inilah yang selalu dia nyanyikan berulang-ulang dengan nada dan irama yangberubah-ubah.

“Cepatlah besar anakku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun