Kezaliman yang ditimpakan ke Ormas FPI minggu-minggu ini semakin menjadi-jadidan menambah sederet kelucuan di negeri ini. Ada pendemo di bundaran HI yang ingin FPI dibubarkan. Ada komentar Presiden SBY agar FPI introspeksi dan ada penolakan FPI di Palangkaraya, kemudian ada media yang berulang-ulang menayangkan gambar tentang perjuangan FPI memberantas maksiat, seolah ingin menanamkan memori di benak khalayak tentang wajah “keras” FPI. Sungguh mereka itu tidak tahu. Ya Allah ampunilah dosa orang-orang yang tidak memahami FPI.
Saya bukan anggota FPI, namun saya kagum dengan konsistensi mereka dalam berjuang. Andai saja para pembesar di negeri ini, mulai presiden sampai para wakil rakyat, para menteri dan para gubernur yang punya kuas kekuasaan untuk melukis kemakmuran di kanvas kesejahteraan rakyat negeri ini, mau berjuang segigih FPI, maka negeri ini sudah makmur sejak dulu. Namun apa dikata, mereka itu hanya berjuang untuk kesugihan diri dan kelompoknya, dan sebagian dari mereka itu sekarang berjuang di pengadilan, menghadapi tuduhan dan sebagian juga sudah meringkuk di bui sebagai buah perjuangan mereka merampok negara. Sungguh lucu.
Masyarakat Kalteng yang diwakili segelintir orang menolak kehadiran FPI. Mereka mengaku cinta damai, sedangkan FPI mereka cap kelompok perusak. Sungguh lucu, secara simultan, pada saat yang sama mereka yang mengaku cinta damai itu justru membakar markas FPI. Lucu memang.....siapa yang sebenarnya anarkis. Saudara-saudaraku di Palangkaraya, waspadalah. Jangan anda terjebak ke dalam permainan tingkat tinggi yang dikendalikan invisible hand.
SBY, Presidenku tercinta, saya adalah salah satu pemilih yang mencoblos gambar beliau dalam Pilpres lalu. Rupanya berada dijajaran pendemo anti FPI, hanya caranya sedikit beda. Kalau pendemo itu berteriak di bundaran HI dengan megaphone dan sepanduk-sepanduk, tapi SBY berdemo mewakili Pemerintah dan negara dengan orasi singkat “FPI agar instrospeksi”. Ini kelucuan berikutnya. Sebagai Kepala Negara, beliau melihat FPI seperti melihat orang lain. Padahal FPI adalah bagian anak negeri, yang aksi jihad-nya muncul dalam karakter khas itu, hanya merupakan konsekwensi dari sistim yang exist.Lihat saja, kemungkaran yang menjadi-jadi, peredaran narkoba, pelacuran, perusakan lingkungan, mafia hukum, kebejatan anggota dewan, pornografi dan korupsi. Semua melenggang kangkung. Aparat seperti tidak berdaya, karena kebanyakan dari mereka (memang) bersedia menerima suap.
Jadi HARUSNYA, yang INTROSPEKSI itu adalah Pemerintah. FPI dengan keyakinan yang mereka anut, berjuang dengan caranya, setelah melalui tahapan-tahapan dan prosedur yang distandarisasi. Sebenarnya yang kita saksikan di media massa, apa yang FPI lakukan itu adalah tahapan terakhir, yaitu eksekusi di jalan. Tampaknya memang agak “keras”, dan itulah yang disantap kamera televisi, yang kemudian secara sistematis membangun stigmatis dengan cara mengulang-ulang tayangan. Kita sering melihat bolduser Pemkot meratakan rumah kaum marginal di Jakarta. Kita sering melihat para pengemis digaruk dari trotoar kota oleh aparat satpol PP. Aksi bolduser dan penggarukan itu, mereka katakan dalam upaya menegakkan hukum. Itu juga sebenarnya kekerasan, itu juga anarkis, hanya perspektifnya saja yang beda. Dan cilakanya, Negara, dalam teori kekuasaan modern, mengklaim dirinya shahih melakukan itu. Mestinya KPK, kejaksaan, kepolisian mencontoh FPI dalam menegakan pedang keadilan. Ingat kata-kata Jenderal Sudirman, Kalau ingin damai, maka kita harus siap perang. Jangan dengan dalih cinta damai, kita semua hidup dalam kesunyian jiwa tanpa gejolak, guyub, rukun, saling melindungi, saling mengasihi --- DALAM KEMUNGKARAN YANG SEJATI. Itukah yang kita inginkan?
Kelucuan terakhir adalah media massa.
Fungsi media massa sebagai education, social control, information, dan intertainment sudah mulai memudar dan lebih dominan masuk ke agenda bisnis dan politis. Media yang sudah menjadi industri kreatif sepertinya tidak lagi konsisten merekonstruksi peristiwa dalam rangka memenuhi hak informasi masyarakat, tetapi justru meng-konstruksi peristiwa itu sendiri dalam rangka meng-create market-nya. Meniupkan angin opini ke penjuru tertentu berdasarkan order dan hidden agenda, dengan RATING sebagai basic assumption-nya.
Realnya, seperti yang dikeluhkan tokoh FPI Habib Muchsin Alatas di Tvone kemaren, “banyak kegiatan positif dan edukatif yang dilakukan FPI namun tidak pernah menjadi berita di media”. Pernyataan ini, sederhana dan keluar spontan dari Habib yang mungkin tidak mengerti teori “Agenda Setting” atau teori Kultivasi, tapi waspadalah, kalimat itu seharusnya menohok idealisme media massa. Kalimat itu gambaran dari “kekerasan” yang dilakukan media massa selama ini yang tidak satu pihakpun dapat mencegahnya, kecuali hati nurani para creator yang berada di balik media massa itu sendiri.
Semoga hati nurani tersebut masih selalu bersuara dan telinga kita masih cukup sehat untuk mendengar, karena hati nurani itulah yang membimbing manusia agar tidak tersesat dalam rimba kegelapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H