Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan rumusan statis  yang tidak dapat diubah. Bahkan dalam Pasal 37 UUD itu sendiri telah tersedia prosedur perubahannya. Setidaknya ada 4 tahap yang harus dilewati. Pertama, usul perubahan pasal pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kedua, setiap usul perubahan pasal pasal Undang Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. Ketiga, untuk mengubah pasal pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Keempat, putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.  Prosedur teknisnya sesederhana itu.
Amandemen pertama UUD 1945 yang terjadi di tahun 1998 dapat dijadikan contoh. Pasal 7 UUD 1945 tentang masa jabatan presiden adalah sasaran pertama amandemen karena masa  jabatan presiden yang tidak dibatasi oleh UUD diduga kuat sebagai pangkal muasal terjadinya periode kekuasaan berkepanjangan Presiden Soeharto.
Situasi politik yang berlangsung di seputar 1998-1999 itu sangat kondusif untuk mengubah UUD. Nyaris tak terdengar suara yang kontra atas 4 kali perubahan selama 1999-2002 itu. Mungkin ada debat di internal MPR, sekedar retorika politik, tetapi secara keseluruhan 4 amandemen itu berjalan mulus.
Dua puluh tahun kemudian, lanskap politik berubah. Balancing kekuatan nyaris sempurna, sehingga setiap agenda yang diwacanakan ke public, entah itu masalah penting kenegaraan atau sekedar remeh temeh jalur biker di Jakarta, selalu mendapat pro kontra relative sama kuatnya. Demikianlah yang terjadi tatkala gagasan Tiga Periode diangkat. Auto pro-kontra muncul dengan berbagai motif kepentingannya. Tak urung, Istana turut bereaksi juga, bahkan cukup keras, baik datang dari presiden Joko Widodo sendiri  maupun melalui juru bicara.
Reaksi pro kontra itu tentu tidak bisa kita beri makna apa adanya. Politik itu berdiri di atas platform yang licin (dinamis). Pernyataan-pernyataan politis yang muncul adalah pedang bermata banyak untuk mengukur kedalaman air, untuk menjajaki asinnya garam, sekaligus mengidentifikasi siapa berada di kubu mana. "karena di Indonesia ini terlalu banyak orang yang ingin jadi presiden".
Mengubah Pasal 7 UUD sejatinya bukan hal yang sulit. Periode jabatan presiden bisa disepakati berapapun. Sidang MPR hanyalah formalitasnya saja. Bahkan jika kita melihat komposisi di MPR saat ini (yang anggotanya adalah semua anggota DPR), tidak sulit bagi pemerintah untuk memerah hitamkan UUD. Apalagi hanya mengubah satu karakter dalam Pasal 7 itu. Yaitu angka 1 menjadi angka 2. (Hanya 1 kali diubah menjadi hanya 2 kali).
Dipersempit lagi, jika yang berkuasa saat ini kompak, cukup duduk sambil ngopi 4 atau 5 ketua umum partai, atau chatting via WA grup, besok pagi UUD sudah diamandemen. Karena para anggota MPR adalah loyalis partai yang taklid pada ketua umum nya. Untungnya para Ketum Partai saat ini tidak terlalu kompak.
"karena di Indonesia ini terlalu banyak orang yang ingin jadi presiden", maka jalan pintas mengubah dua menjadi tiga periode tidak lagi sederhana. Boro-boro kompetisi antarpartai, bahkan di internal partai sendiri sudah mulai terdengar ributnya, tentang siapa calon di 2024. Meskipun periode kedua Jokowi baru berjalan kurang dari separoh dan Pilpres berikut masih cukup lama. Â Betul kata Presiden ILC Karni Ilyas yang mengutip entah kata-kata siapa bahwa Negarawan yang menang Pemilu akan memikirnya rakyat, sementara politisi hanya akan memikirkan Pemilu berikutnya.
Dulu, untuk menjadi presiden butuh sederet prestasi di tingkat negara. Â Soekarno, Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati dan SBY adalah tokoh-tokoh yang kenyang mengecap pengalaman mengurus bangsa. Mereka sampai di puncak kepemimpinan nasional melalui carrier path yang melingkar dan berliku. Tiba-tiba Joko Widodo datang mendobrak kemapanan.Â
Tak perlu pangkat jenderal atau gelar Profesor Doktor. Tak perlu sarjana dengan IPK di atas 3,5. Cukup dengan sebutan Petugas Partai beliau melenggang 2 periode. Inilah yang membuat banyak orang menjadi percaya diri menjadi calon presiden. Dalam 3,5 tahun ke depan, jika sejarah berjalan lurus, jabatan presiden Jokowi berakhir, sejumlah calon antri untuk menggantikan. Dan para pengantri itu siap untuk ribut dengan gagasan tiga periode.
Saat ini memang belum banyak yang tokoh yang terang-terangan menolak atau setuju. Mereka mengintai dan belum mau menunjukan belangnya meskipun sikap Istana sudah jelas. Tetapi tidak ada yang abadi dalam politik. Sekarang menolak, besok menolak, tetapi tahun depan, atau awal 2024?. Masihkan mereka akan menolak. Kata almarhum Buyung Nasution kekuasaan itu seperti pelana kuda. Awalnya gak enak, tetapi lama-lama terasa enak dan ingin terus menunggang kuda kekuasaan.
Meskipun mekanisme perubahan Pasal 7 UUD 45 tampak sederhana, namun karena muatan politik kekuasaannya sangat dominan maka tahun-tahun mendatang ini keruwetan akan menjadi-jadi.
Kapan mereka kerja ya?