Aroma melati dengan keharuman yang pekat menyapa Kamelia di gazebo taman itu. Keharuman itu seakan menjadi pengingat abadi akan cinta yang tak tergapai, yang bersemi dalam hatinya. Senja menyapa, langit bermandikan jingga dan ungu, namun matanya tertuju pada sesosok rumah di seberang jalan, sebuah bangunan minimalis yang terendam dalam cahaya keemasan mentari senja.
Di sanalah Hirza tinggal, pria yang telah menawan hatinya dengan senyum lembut dan mata yang berbinar. Dia adalah segalanya yang Kamelia impikan: baik hati, cerdas, dan memiliki karisma yang memikatnya selayaknya ngengat terhadap api. Namun, Hirza telah memiliki istri, hidupnya terjalin erat dengan wanita lain, wanita yang Kamelia tahu, sama cantik dan memikatnya seperti Hirza sendiri.
Pertemuan itu terjadi secara tak terduga, sebuah kecintaan bersama pada buku yang mempertemukan mereka. Dua sosok itu menghabiskan waktu berjam-jam berdiskusi tentang buku, percakapan mengalir tanpa henti, tawa mereka bergema di antara rak-rak di dalam toko buku di suatu sudut kota. Kamelia, seorang penulis muda, menemukan dirinya terpesona oleh observasi Hirza yang tajam dan ketertarikannya yang tulus pada karyanya. Dia adalah jiwa yang sefrekuensi, sebuah mercusuar di tengah kehidupannya yang biasa-biasa saja.
"Kau tahu, Kamelia," ujar Hirza suatu sore, matanya berbinar saat dia menatapnya, "Kisahmu tentang gadis yang melarikan diri ke hutan itu sangat memikat. Aku bisa merasakan kesedihannya, keinginannya untuk bebas."
Jantung Kamelia berdebar kencang. "Terima kasih," jawabnya, berusaha agar suaranya terdengar tenang. "Aku mencoba untuk menangkap perasaan itu, rasa terkekang dan keinginan untuk menemukan sesuatu yang lebih."
"Kau berhasil," kata Hirza, senyumnya membuat kesadaran Kamelia sedikit terenggut. "Kau memiliki bakat yang luar biasa, Kamelia. Jangan pernah meragukannya."
Kata-kata Hirza, yang terucap dengan tulus, membuat Kamelia merasa seperti terbang. Namun, kebahagiaan itu selalu diiringi rasa pahit, karena dia tahu bahwa dia tak akan pernah bisa berbagi lebih dari sekadar kata-kata dengan Hirza.
"Aku ingin kau membaca ceritaku yang baru," kata Kamelia suatu hari, saat mereka bertemu di toko buku. "Aku harap kau akan menyukainya."
"Tentu saja," jawab Hirza, senyumnya membuat hati Kamelia meleleh. "Aku selalu tertarik dengan karyamu, Kamelia."
Kamelia menyerahkan manuskripnya pada Hirza, hatinya berdebar-debar. Dia telah mencurahkan seluruh perasaannya ke dalam cerita itu, sebuah kisah tentang cinta yang tak terbalas, tentang pengorbanan diam yang dilakukan untuk orang yang dicintai.
"Aku akan membacanya segera," janji Hirza, matanya menatapnya dengan penuh perhatian. "Aku tak sabar ingin cepat-cepat meresapi apa yang kau tulis kali ini."