Seiring kemunculan sang surya, tetes embun bergulir di atas daun dan jatuh ke tanah. Angin pagi menabuh dedaunan membisikkan desir kedamaian. Hawa pagi meniupkan semangat di sanubari para penduduk desa. Langkah-langkah mereka menggetarkan nadi kehidupan pagi.
Pasar Desa Turi Agung menggeliat lebih bersemangat dari biasanya. Selain pedagang yang biasa membuka lapak di situ, kali ini terdapat lebih banyak pedagang memamerkan barang-barangnya. Tidak hanya di dalam wilayah pasar, di bagian luar pasar banyak penjual telah bersiap sedia.
Di sisi pasar, di sebidang tanah lapang, beragam hasil bumi dan makanan tersusun rapi di wadahnya masing-masing. Seiring naiknya mentari, makanan itu bertambah sedikit demi sedikit. Beberapa perempuan sibuk mengatur kerapian makanan yang ada di situ. Sejumlah lelaki dengan badan kekar juga turut membantu mereka agar suasana tetap tertib. Terlihat pula beberapa sosok prajurit kerajaan semala berdiri di beberapa titik.
Di sela keramaian, Ki Ratmoko, Sogol, dan Murti terduduk menghadap beragam perkakas dari bambu. Widura, setelah membantu menggelar dagangan, berinisiatif mencari lapak Ki Purnomo, mungkin lebih tepatnya mencari Ratri. Sambil mengayun langkah santai, Widura menyusur barisan pedagang di luar wilayah pasar. Sambil mengamati beragam jenis dagangan, ia khusus mencari pedagang kain sambil berharap itu adalah Ki Purnomo.
Setelah menelusuri banyak lapak, Widura menemukan Ki Purnomo dan Ratri terduduk menunggui hamparan kain yang akan mereka jual. Widura lalu menyapa Ki Purnomo dan anak gadisnya. Widura dan Ratri pun kemudian bersepakat nanti saat adu ketangkasan akan dimulai, mereka akan bertemu lagi di lapak ayah Ratri.
Mentari telah benar-benar menyinari wajah bumi ketika selamatan desa dimulai. Sesudah ritual berakhir lapangan di sisi pasar akhirnya mulai diatur menjadi beberapa arena.
Widura, Sogol, dan Murti mendatangi Ratri dan kemudian berjalan bersama-sama menuju tanah lapang. Lahan itu dibagi menjadi arena adu ketangkasan untuk anak-anak dan dewasa. Di golongan anak-anak dibagi lagi menjadi dua, golongan pertama berusia 10 tahun ke atas hingga 12 tahun dan golongan lainnya berusia di atas 12 tahun hingga 15 tahun.
Sesudah memutari lapangan, Widura dan teman-temannya menemukan meja petugas pertunjukan dan lokasi untuk golongan anak-anak. Mereka segera mendaftarkan nama setelah bertanya-tanya. Petugas menjelaskan, pada setiap giliran tampil, petugas akan memilihkan lawan tanding secara acak berdasarkan postur tubuh peserta. Petugas akan memilihkan lawan yang berimbang kecuali bila memang tidak ada, maka peserta akan mendapat lawan yang masih tersisa.
Kali ini peserta golongan pertama menerima beberapa puluh peserta. Anak-anak ini berkumpul di dekat arena ketangkasan. Widura mengamati wajah dan perawakan sosok-sosok yang bakal jadi pesaingnya di arena, ada yang badannya relatif lebih besar, lebih tinggi, lebih kurus, dan lain-lain. Sekilas diamati lagi, terdapat peserta perempuan di antara mereka selain Ratri.
Dalam pada itu, datanglah tiga orang dewasa di tengah kerumunan dan salah satunya berkata lantang, "Anak-anak kelompok pertama ayo berbaris menghadap ke sini!" Ia menunjuk dirinya sendiri. "Dan kelompok kedua menghadap ke sana!" Ia menunjuk ke seorang rekannya di sisi lain.
Orang-orang dewasa yang termasuk tim penyelenggara ini mulai memasang-masangkan para peserta. Widura dan teman-teman lelakinya memiliki postur tubuh yang rata-rata, jadi mereka mudah mendapatkan pasangan yang nantinya akan jadi lawan mereka. Ratri pada putaran pertama ini mendapatkan lawan sesama perempuan. Namun salah satu peserta perempuan kebetulan mendapat lawan laki-laki, tapi secara postur tubuh pasangan ini relatif sama.