Namun di saat itu wajah yang selama ini menjadi sumber teror bagi dirinya terlihat terduduk lemah di dekat penampungan sampah. Gadis itu melangkah mendekat. Wajah itu terlihat kuyu dan berdarah-darah. Rasa kebencian terhadap orang di hadapannya mengalahkan kengerian penampakan sang pemimpin preman. Adegan-adegan kebiadaban orang itu berlintasan di benak si gadis.
Sang preman hendak mengatakan sesuatu, tapi tiada suara yang terdengar dari kerongkongannya. Pandangan sang preman terkaburkan oleh tetes-tetes darah dari jidatnya dan kapasitas kesadarannya yang nyaris habis. Bahkan untuk menggerakkan jarinya, ia tak mampu.
Gadis itu mendekat. Ia pungut pisau lipat berlumur darah yang tergeletak di sisi sang preman. Sudut bibir si gadis terangkat. Senyum yang telah lama pudar itu kini muncul. Namun yang tersirat dari senyum itu adalah kekejian. Dengan pandangan dingin, ia melakukan sesuatu yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.
Di malam itu, di bawah temaram siraman sinar bulan, sejarah sang pemimpin preman itu terhenti di tangan seorang gadis yang sebelumnya ia anggap lemah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H