Dua kelompok preman yang sering bergesekan itupun menghentikan kesenangannya. Di dalam remang tanah lapang, di tengah riuh musik dan teriakan penonton, aroma permusuhan, kebencian dan bau alkohol tercium pekat di lingkaran kecil itu.
"Hai bangsat! Kamu gila ya!" teriak sosok yang baru mengetahui ternyata yang memukul wajahnya adalah musuh terbesarnnya.
Tidak mau kalah, sang pemimpin preman berteriak membalas, "Kau kemanakan matamu! Kalau nggak kau pakai, sini aku congkel!"
Tanpa ada percakapan lanjutan, tanpa ada prosedur musyawarah atau undian, dua kelompok itu langsung setuju memilih lawannya masing-masing. Sebuah persetujuan yang kecepatannya hanya bisa dikalahkan oleh kecepatan perubahan aturan yang menguntungkan penguasa.
Pertempuran kecil yang awalnya menggunakan bogem, siku, dan lutut berubah, Â menggunakan pecahan botol dan pisau lipat. Teriakan kesakitan dan umpatan mereka yang terlibat perkelahian bercampur suara dentuman bas dan histeria penonton.
Tubuh-tubuh mulai ada yang bergelimpangan tanpa tahu masih bernyawa atau tidak. Entah dari pihak mana, entah itu siapa, tubuh-tubuh itu bersimbah luka berwarna darah. Penonton yang tidak ingin tersangkut pertikaian tidak ada yang berani menyentuhnya.
Dalam situasi yang serba kacau, sang pemimpin preman melarikan diri dari pertempuran. Tubuhnya saat ini telah dipenuhi lebam dan beberapa luka yang cukup dalam. Pakaiannya basah kuyub karena keringat dan darah. Ia berlari ke arah pasar yang biasa jadi tongkrongannya. Di belakangnya terdengar suara kejaran dan umpatan memanggil namanya.
Pemimpin preman itu hanya bisa berlari menggunakan tenaga yang tersisa. Dengan sisa-sisa kesadarannya, ia memilih lorong-lorong yang terselip di tengah perkampungan berharap terlepas dari kejaran. Setidaknya di wilayah tongkrongannya, ia akan lebih aman. Hanya itu yang ada di pikirannya sekarang.
Di sebuah sudut pasar yang agak gelap, dekat tempat penampungan sampah, pemimpin preman itu akhirnya terduduk bersandar. Adrenalin yang saat ini banyak berkurang mengungkapkan rasa sakit di sekujur badannya.
Seorang gadis yang baru beranjak dewasa dengan wajah yang menyembunyikan banyak kegetiran berjalan perlahan menuju tempat penampungan sampah pasar. Sambil menjinjing sekantong sampah, ia melangkah dengan enggan.
Gadis ini berasal dari keluarga biasa. Di pasar ini ia hanya ingin membantu orang tuanya mengurus secuil lapak. Tapi keberadaan gerombolan preman pasar hanya bisa mendatangkan ketakutan baginya. Selain menindas orang tuanya dan pedagang lainnya, beberapa kali gerombolan preman ini melecehkan dirinya. Tumpukan amarah dan ketidakberdayaan telah memudarkan senyum cerianya.