Setelah Ki Jagabaya mendekati tempat murid-muridnya berlatih, ia mengamati gerakan-gerakan murid-muridnya itu. Pada beberapa kesempatan, ia memberikan koreksi dan pengertian pada gerakan-gerakan yang mereka lakukan. Kemudian setelah dirasa cukup, Ki Jagabaya memberikan rangkaian gerakan baru yang harus mereka pelajari. Ki Jagabaya juga mencontohkan penggunaan gerakan itu pada kondisi pertarungan yang sesungguhnya.
Setelah tubuh bocah-bocah itu berkeringat, Ki Jagabaya memerintahkan mereka beristirahat. Mereka pun lalu istirahat duduk pada sebuah licak panjang sambil menikmati kesegaran air minum.
Ketika nafas dirasa lebih tenang, Widura membuka percakapan, "Guru, saya ingin bertanya dan mengajukan permohonan."
"Apakah itu?" jawab Ki Jagabaya.
"Itu guru, ada seorang teman kami ingin ikut belajar silat kepada guru. Ia seorang anak perempuan dari desa Pandan Asri. Ia anaknya Ki Purnomo. Apakah guru bersedia menerima murid lagi?" ujar Widura.
"Oh, setahuku Ki Purnomo punya empat anak. Itu anak yang manakah?" Ki Jagabaya bertanya.
"Ia anak yang terakhir, namanya Ratri," jawab Widura kemudian.
"Kok bisa ia jadi tertarik belajar silat bareng kalian? Bagaimana ceritanya?" Ki Jagabaya kembali bertanya.
Wajah Widura jadi sedikit aneh mendengar pertanyaan dari gurunya. Kata-kata yang mau terucap seolah sulit keluar dari mulutnya. Sementara Sogol dan Murti hanya senyam-senyum.
"Lho ada apa ini? Apa ada yang salah dengan kalian?" Ki Jagabaya merasakan kebingungan melihat kelakuan murid-muridnya, terutama Widura.
Sogol lalu menceritakan kejadian di sungai perbatasan desa, tentang perkelahian berat sebelah yang aneh antara Ratri dan Widura, juga tentang pertemuan mereka dengan Ratri dan kakaknya kemarin. Ki Jagabaya sempat tertawa mendengar kisah perkelahian unik antara Ratri dan Widura. Tapi pada akhirnya Ki Jagabaya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.