Taksi itu merayap pelan di atas aspal yang basah kuyup, lampu-lampu kota berpendar dalam kabut hujan, membentuk goresan warna yang samar di balik kaca jendela yang berlumuran air. Aroma aspal basah dan asap knalpot memenuhi udara, sebuah aroma yang selalu mengantarkan Wati pada lautan nostalgia.Â
Bertahun-tahun ia mengejar mimpi di labirin beton metropolitan, namun kini, kembali ke kota asalnya, ia merasakan tarikan kuat menuju masa lalu, terkenang pada masa-masa muda yang sederhana.
Saat taksi berbelok, mata Wati tertuju pada sebuah toko tua yang sederhana, terjepit di antara bangunan-bangunan yang lebih muda. Di atas pintu, sebuah papan nama pudar bertuliskan nama toko, catnya mengelupas dan retak seperti foto-foto usang. Gelombang kenangan menerpa, polos penuh kesederhanaan. Di sini, di beranda toko ini, ia pernah berbagi momen dengan Totok, momen yang terukir abadi dalam benang merah kisah hidupnya.
Bibir Wati melukis seulas senyum. Ia teringat Totok, sahabatnya di kala remaja. Di waktu itu, entah mengapa, tiap mereka ada acara bersama di luar rumah, sering kali cuaca yang awalnya cerah menjadi hujan. Seolah alam memang sengaja menjahili mereka.
Kala itu, sore hari yang diterpa hujan, persis seperti hujan saat ini. Wati dan Totok terjebak hujan deras untuk yang kesekian kalinya saat dalam perjalanan pulang. Mereka berlindung di beranda itu, Hujan yang mendadak turun, walau membawa kesegaran, sedikit membuat hati dongkol.Â
Totok datang mendekati beberapa saat setelah memarkir motornya, wajahnya berseri dengan senyum hangat. Mereka berteduh bersama di beranda. Keberadaan sahabatnya di kala itu menghapus kedongkolan hatinya. Totok memang selalu bisa dalam urusan itu. Sementara hujan mengetuk atap seng dengan irama yang teratur menyelingi percakapan mereka.
Di suatu momen waktu itu, Totok terdiam sejenak, matanya menatap jalanan yang basah kuyup. Kemudian, ia berbalik ke arah Wati, tatapannya tajam dan serius. "Wati," ucapnya, suaranya nyaris bisikan, "Aku ingin mengatakan sesuatu padamu sejak lama."
Wati mendadak terpaku menanggapi ucapan lelaki di hadapannya itu. Suasana seketika berubah.
"Aku suka kamu, Wati," lanjut Totok, suaranya dipenuhi emosi. "Aku telah menyukai kamu sejak lama."
Wati merasakan getaran di dadanya, campuran kehangatan dan kecemasan. Ia tertarik pada Totok, kebaikan dan humornya yang tulus, namun tak pernah terpikir memiliki perasaan yang lebih dari itu. Pengakuannya mengejutkan, membuatnya terdiam.
Udara di antara mereka berdesir dengan ketegangan yang tak terucapkan. Wati merasakan gelombang rasa yang tulus dari Totok, namun ia tahu tak bisa membalas perasaan tersebut. Ia punya mimpi yang membawanya menjauhi batas kota kampung halaman mereka. Ia membayangkan masa depan dirinya di kota lain, masa depan yang tak melibatkan Totok.