Mohon tunggu...
Jarang Makan
Jarang Makan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penggemar content manajemen, pengembangan diri, dan fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nostalgia Berteduh Berdua

1 November 2024   06:59 Diperbarui: 1 November 2024   07:01 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Totok," akhirnya Wati berkata, suaranya sedikit gemetar, "Aku menghargai perasaanmu, tapi aku tak merasakan hal yang sama untukmu. Maafkan aku."

Totok mengangguk, senyumnya memudar. "Aku mengerti," katanya, suaranya bercampur sedikit kesedihan. "Aku hanya ingin kau tahu."

Mereka terdiam sejenak, hujan terus turun dari langit kota. Udara dipenuhi emosi yang tak terungkap, campuran aneh antara kesedihan dan harapan. Keduanya tahu bahwa jalan mereka akan bercabang, bahwa hidup mereka akan membawa keduanya ke arah yang berbeda. Namun di saat itu, di beranda toko itu, mereka berbagi ikatan, sesuatu yang mungkin melampaui ikatan romantis.

Saat taksi melaju menjauh dari Toko yang mengisi sepotong kenangan itu, senyum Wati memudar, digantikan oleh desahan yang penuh kerinduan. Ia memang mengejar mimpinya, mengejar ambisinya. Namun sebagian dirinya masih merindukan masa-masa muda yang sederhana, kepolosan dan kegembiraan yang tak terbebani seperti halnya saat sore-sore hujan bersama Totok.

Ia tak pernah melupakan Totok, kebaikan dan dukungannya yang tak tergoyahkan. Mereka tetap berteman, jalan mereka sesekali bersinggungan selama bertahun-tahun. Ia menyaksikan Totok membangun hidupnya yang sukses di kota kampung halaman, hidupnya diwarnai tujuan dan kepuasan. Dan Wati sendiri menemukan kebahagiaannya, sebuah pengejaran di kota lain.

Namun saat ia memandang jalanan yang basah kuyup di luar jendela, Wati tak bisa menahan pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benaknya. Bagaimana seandainya ia tetap tinggal di kota kampung halaman? 

Bagaimana seandainya ia memilih untuk bersama Totok, membangun hidup bersamanya? Pertanyaan-pertanyaan itu bergema di benaknya, tak terjawab dan mungkin tak akan pernah terjawab.

Taksi berhenti di depan rumah orang tuanya, pemandangan yang familiar yang membawa gelombang emosi yang campur aduk. Ia meninggalkan rumah ini dengan hati penuh mimpi dan kepala penuh rencana. Kini, ia kembali dengan hati penuh kenangan dan kepala penuh pertanyaan dari masa lalu.

Ia keluar dari taksi, hujan membasahi dirinya seolah ingin membilas kisah masa lampau dari kepalanya. Saat ia berbalik seolah melihat Toko itu dari kejauhan, kini hanya tabir samar titik-titik hujan, ia tahu bahwa masa lalu, seperti hujan, akan selalu menjadi bagian dari dirinya, membentuk masa kini dan memengaruhi masa depannya. Dan saat Wati berjalan menuju rumah masa kecilnya, ia merasakan ketenangan dan penerimaan.

Hidup, Wati sepenuhnya menyadari, adalah perjalanan, serangkaian pilihan dan konsekuensi, dan ia telah membuat pilihannya. Dan meskipun ia memilih jalan yang berbeda, kenangan sore hujan di beranda Toko itu akan selalu memiliki tempat istimewa di hatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun