Seekor kupu saat itu sedang menjelajahi sebuah taman kecil yang dihiasi beberapa jenis bunga. Taman itu sendiri berada di tengah kompleks rumah sakit. Sementara sinar dari matahari yang telah condong di sisi barat menggapai lantai selasar rumah sakit dan menghangatkan lantai yang putih bersih.
Suara sepasang kaki terdengar di selasar itu. Langkah-langkah yang perlahan menikmati tenang suasana sore. Itu langkah milik seorang gadis dengan sebuah buku tebal di pelukannya. Kuncir rambutnya mengayun ritmis seharmoni dengan langkahnya. Mata beningnya menyiratkan sebentuk kelembutan sekaligus ketegaran. Ini sudah kesekian kalinya ia mendatangi rumah sakit.
Di ujung lain selasar, seorang laki-laki separuh baya terduduk sambil memegangi selembar kertas. Sesekali ia memandangi kertas di tangannya, sesekali ia memandang taman di hadapannya. Wajahnya berkerut-kerut dan tangannya yang lain memegangi dagunya. Sekali waktu kepalanya manggut-manggut.
Walau sudah kesekian kali mengunjungi rumah sakit ini, walau sudah kesekian kali si gadis menemui lelaki yang berada di ujung selasar, di saat ini dadanya masih terasa sesak. Pelupuk matanya terasa panas. Matanya mengembun memantulkan cahaya matahari yang menyinari lantai selasar.
Saat jarak kedua makhluk Tuhan ini makin dekat, si gadis berhenti sejenak. Ia hirup udara sebanyak mungkin, menghabiskan sebanyak mungkin oksigen yang ada di sekitarnya. Kemudian ia hembuskan nafas sembari membangun susunan tembok emosinya. Ia tak ingin tembok itu runtuh di hadapan lelaki yang selama ini menyertai pertumbuhan dirinya.
Gadis itu pun duduk di sisi lelaki, kemudian kedua bola matanya mengikuti arah pandang sosok yang ada di sebelahnya. Tidak ada sesuatu yang istimewa di lintasan pandang mereka. Hanya seekor kupu-kupu yang sedang melaksanakan tugas alam menebar serbuk sari.
Setelah beberapa saat, lelaki itu bertanya, "Mana ibumu?"
"Ibu mengunjungi nenek," jawab gadis.
"Oh, gitu," lelaki hanya mengangguk kalem.
"Ayah, Malam nanti aku akan mulai kerja sambilan. Hutang yang harus dibayar terlalu besar. Langkah yang aku pilih mungkin keliru, tapi bagaimana lagi. Hanya ini yang aku bisa," gadis itu berkata pelan sambil menahan aliran air matanya. Ia tahu kalau lelaki itu tidak memahami perkataannya, tapi ia hanya ingin menumpahkan ganjalan di benaknya.
Lelaki itu nyatanya memang tidak menanggapi ucapan anak gadisnya. Ia tetap memandangi kertas di tangannya. Saat gadis melirik kertas itu, ternyata hanya lembaran kertas folio bergaris tanpa ada satupun karakter yang tercoret di permukaannya.