Semua ini menjemukan diri, kembali arah kontrakan sesudah itu membunyikan ragam suara yang berirama lengang
Rutinitas ini memuakkan diri, tak ada sekutu kecuali rutinitas--dia bukan kawan yang asyik
Weekend ini menyepikan diri, yang mesti bersembunyi di ramai-ramai meskipun tak ada yang memburu
Tanggal merah sekadar mempertegas diri tak miliki acara lain kalau bukan tidur dan tidur lagi
Libur semester, kampung halamanku terkena bencana. Tak pulang tak apa, toh tak ada yang memohonku untuk kembali
Senin yang sedang diri jalani, bunyikan ragam suara yang berirama sedu, kawan dapat mengingatkan diri begitu pula ragam suara yang berirama sedu, dia mengingatkan diri jatuh cinta sedapatnya membikin hati ini sebagaikan kampung halaman. Tersebut bencana mala petaka yang memburu diri tak peduli menyembunyikan diri di dalam celengan ayam.
Angkasa bersin, jadilah hujan di bumi. Hujan yang lain dari hujan di puisi-puisi itu tentunya.
Menetap dalam payung mendung, kemudian tetiba tak bisa tidur memikirkan ide yang dikembangkan logika diri. Bahwa sedetik saja diri lengah..
Aku sudah jatuh, selanjutnya mungkin kamu bisa menerkanya
Aku sudah lengah, nasihat Ragam Suara Yang Berirama Sedu sudah tak diri indahkan,
yang berdengung hanya hantaman keindahanmuÂ