“Mari kita tinggal di pulau tanpa hujan,” kamu selalu mengorbankan dirimu.
Kupikir bagaimana kalau kita sama-sama berkorban, seperti kita sama-sama jatuh hati. Hujan memang membuat perih lukaku, tapi tanpa hujan kamu kehausan. Hari itu, hujan mengguyur rumah kita, lantas kamu menggenggam tanganku erat, seperti biasanya “Aku ada,” katamu. Tapi kali ini aku tuntun kamu ke pekarangan, menginjak rumput basah dan melompat sedikit menikmati hujan. Kamu tersenyum, aku bisa terima sampai badan kita sama-sama keriput oleh air hujan, sampai aku lupa menolak hujan. Kalau sakit, kita akan sakit bersama.
“Hujan diciptakan atas banyak alasan, Ra” katamu,
“Salah satunya agar saat kedinginan karenanya, kamu bisa mencari aku.” lanjutmu,
Kamu seakan selalu mengerti aku juga tanda-tanda alam.
“Di kehidupan selanjutnya, kita akan sering bermain hujan-hujanan bersama, aku janji. Aku akan hidup menjadi perempuan yang sehat dan kuat, aku akan mencarimu dan mencintaimu seperti hari ini,” jawabku,
Kupikir aku tak harus menceritakan ini padamu, bahwa aku mengidap hipotermia tapi aku penasaran, seperti apa senyum bahagiamu kala hujan. Aku suka Kamu, bukan suka Hujan. Karena kamu akan mengerti aku, tapi Hujan tidak.
Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya,
Bandung, 6 Desember 2016