Senja mendung di Bandung, kududuk di pojok angkot. Berharap tak kau sapa, karena malas mendengar keluh kesah kalian. Ku juga punya.Â
Ngetem menunggu yang tak pasti, aku pulang agak gelap agaknya. Bagaimana lagi.Â
Kulihat Wanita Tua menangis, tak bersuara tapi mengalir. Ya, Ibu itu sedang menangis. Sama derasnya dengan hujan yang akhirnya turun.Â
Aku menjadi tukang angkot yang gesit, tak lelet lagi jika mungkin saja rumah membuatnya tenang.
Aku menjelma menjadi hujan, agar berhenti jika saja hujan deras ini mengingatkan kenangan pahitnya.Â
Aku beralih menjadi air matanya yang enggan mengalir jika saja air mata itu mengalir dengan sendirinya.Â
Tapi aku kembali menjadi aku, merasuki hatinya.Â
"Pahit," sudah kau katakan kesekian kalinya,Â
"Aku tak tahu kemana angkot ini terakhir berhenti. Aku hanya ingin menjauh dari Pahit itu. Pahit itu sedang di rumah, tak membahagiakan aku sebagaimana sumpahnya."Â
"Pahit itu kini mencari Manis yang lain, yang mana tak ia temukan padaku. Aku punya, tapi ia menutup matanya dariku."Â
"Asin, air mata ini asin, untung tak pahit juga."Â