Penggunaan Omnibus Law sebagai suatu metode dalam penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia bukanlah hal yang baru. Berdasarkan sejarah  tercatat ada sejumlah peraturan perundang-undangan di era hindia belanda yang prosesnya menggunakan metode omnibus. Berdasarkan data dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), diperkirakan bahwa peraturan-perturan yang prenah dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda sampai dengan tahun 1949 berjumlah sekitar 7.000 peraturan.
Di dalam Daftar Program Legislasi Nasional yang disusun BPHN tahun 1990, sampai 1992 masih ada sekitar kurang lebih 400 peraturan perundang-undangan Hindia Belanda. Angka 400 peraturan tersebut merupakan sisa dari 7.000 peraturan. Pertanyaannya dari 7000 jadi 400 itu melalui metode apa? Waktu itu juga menggunakan metode Omnibus Law untuk mengganti banyaknya peraturan perundang-undangan Hindia Belanda menjadi satu peraturan perundang-undangan nasional. Walaupun dalam penelitian atau khazanah hukum di Indonesia istilah omnibus belum dipergunakan, tapi metodenya sudah dipergunakan. Oleh karena itu, Omnibus Law bukanlah hal baru di Indonesia.
Pada tahun 2017, DPR pernah menyetujui Perppu Nomor 1 Tahun 2017 dan UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan. Undang-undang tersebut merupakan undang-undang yang menggunakan metode Omnibus Law. Sebenarnya Omnibus Law bukanlah metode untuk mengubah, menghapus atau mencabut, tetapi merangkai dan menyelaraskan beberapa undang-undang agar tidak tumpang tindih atau saling bertentangan.
Simpelnya, undang-undang tersebut memberikan akses kepada Ditjen Pajak untuk memperoleh informasi keuangan secukupnya di dunia perbankan, perasuransian, pasar modal, dan lembaga pasar modal lainnya tanpa mengubah undang-undang perbankan tanpa mengubah undang-undang perasuransian, tetapi akses diberikan kepada Ditjen Pajak untuk memperoleh informasi keuangan.
Hanya saja dalam kasus RUU Cipta kerja, pemerintah tidak hanya menyelaraskan satu atau dua undang-undang saja, tetapi lebih dari 79 undang-undang diselaraskan dalam satu undang-undang yang disebut Omnibus Law RUU Cipta Kerja tanpa menghapus undang-undang yang lama. Tujuannya adalah untuk memperbaiki tata kelola regulasi di Indonesia agar tercipta iklim investasi yang baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Tapi herannya, mengapa tujuan yang mulia ini justru menjadi kontroversi di publik. Bukan hanya substansinya tetapi metode Omnibus Law pun dipertanyakan. Padahal, ini bukan hal yang baru di Indonesia. Memang perlu disadari bahwa masyarakat Indonesia tidak terbiasa dengan adanya perubahan, apalagi perubahan secara besar-besaran di hampir seluruh sektor. Akibatnya, satu suara penolakan diikuti oleh masyarakat lain yang sebetulnya kurang paham dengan metode Omnibus Law itu sendiri.
Konsepnya sudah bagus, Omnibus Law untuk mendukung perekonomian Indonesia agar lebih maju, sehingga perlu didukung oleh seluruh stakeholder. Tinggal selanjutnya kita kawal pelaksanaan Omnibus Law ini agar tidak menciderai hak dan kemaslahatan masyarakat secara umum. Bagaimana mungkin draf yang baru diserahkan kepada DPR atau baru akan dibahas sudah dikatakan melukai hak-hak kelompok tertentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H