137024372699541501Bermula dari tulisan/artikel di Kompasiana yang cenderung berpendapat bahwa adanya sejumlah tempat ibadah agama-agama di NKRI, merupakan tanda bahwa ada toleransi di Indonesia; apalagi, dilanjutkan dengan data dan rasio jumlah umat dan tempat ibadah Jumlah umat Islam 207.176.162, masjid 239.497; jumlah umat Kristen 16.528.513, gedung gereja Kristen 60.170; jum umat Katolik 6.907.873, gedung gereja Katolik 11.021; jumlah umat Budha 1.703.254, Vihara 2.354; jumlah umat Hindu 4.012.116, Pura 24.837; jumlah Umat konghucu 117.091, Kelenteng 552. Dengacan contoh rasio sebagai berikut
- Jumlah mesjid 255,147. Dengan jumlah muslim 207 juta lebih, rasio 1:817
- Jumlah pemeluk Kristen Protestan adalah 16.528.513 (6,96 %) dengan jumlah gereja 50.565 (15,15 %) atau 1:327
- Jumlah pemeluk Katolik adalah 6.907.873 (2,91 %) dengan jumlah gereja 11.191 (3,35 %) atau 1:617
Di samping itu, juga ada data dari Sekretariat Kabinet, dan kemudian diolah ulang oleh media massa (terutama media garis keras dan intoleran) dan juga banyak orangn termasuk mantan Wapres Jusuf Kalla., yaitu
Berdasarkan data (dari kepala Pusat Kerukuanan Beragama Kemenag RI) tahun 2010, Tahun 1997 – 2004 ada kenaikan jumlah dan prosentasi tempat ibadah
Data-data di ataslah yang sering dan terus menerus dipakai oleh banyak orang dan para petinggi negara, sebagai adanya toleransi dan (juga sebagai bukti bahwa) negara melindungi minoritas di Negeri ini. Dan lucunya para pengguna data di atas tak menyebut satuan atau jumlah, melaiankan angka prosentasi; dengan itu, sering dinyatakan bahwa tempat ibadah umat Muslim, hanya bertumbuh 64 %, sedangkan lainnya di atas 100 %. Sekali lagi, berdasarkan data-data di atas, dengan merdu serat nada dan sura yang sama, mereka (terutama para petinggi negara) menyatakan bahwa betapa toleran bangsa ini; betapa indahnya pemerintah RI melindungi minoritas.
Penggunaan data tersebut juga digunakan oleh Presiden SBY, ketika berpidato pada penerimaan Word Statesmen Award di New York, menurut SBY
Saat ini, Indonesia memiliki lebih dari 255.000 mesjid. Kami juga memiliki lebih dari 13.000 pura Hindu, sekitar 2.000 kuil Budha, dan lebih dari 1.300 kuil Konghucu. Dan—hal ini mungkin akan mengejutkan bagi anda—kami memiliki lebih dari 61.000 gereja di Indonesia, lebih banyak dibandingkan di Inggris Raya atau Jerman. Dan banyak dari tempat-tempat ibadah ini dapat ditemui di sepanjang jalan yang sama
Agaknya SBY lupa atau tidak tahu (!?) bahwa jumlah aliran/denominasi/mazhab dan organisasi Gereja di Indonesia lebih banyak dari di Inggir dan Jerman; dan jumal yang banya di Indonesia itu akibat dari mudahnya (izin negara) membentuk oranganisasi Gereja di Indonesia; dan dengan itu harus mempunyai tempat sendiri-sendiri.
Atas dasar itulah, maka saya melakukan sedikit Survey kecil-kecilan untuk mendapat masukan publik melalui jaringan sosial.
Survei dilakukan dengan cara mengshare/ulpload
yang diikuti dengan, kata-kata137024372699541501
SURVEY: OlehOpa Jappy(Jappy Pellokila)1370247855142819454
Tujuan: Mendapat masukan publik dari media sosial tentang intoleransi
JANGAN hanya gunakan JUMLAH Tempat IBADAH sebagai ukuran TOLERANSI di INDONESIA (izin pendirian tempat ibadah hanya sala satu bentuk intoleransi; masih banyak yang lain)
Monggo berikan pendapat, opini, pengalaman tentang UNSUR-UNSUR atau HAL-HAL LAIN yang menyangkut INTOLERANSI di INDONESIA. BISA juga merupakan contoh-contoh nyata yang anda alami atau pernah alami.Survei dilakukan dengan cara kerja sama dengan beberapa admin Media Sosial, yaitu
- FB Fans Page Indonesia Hari Ini Dalam Kata-kata, dengan jumlah Likers/yang suak sebanyak 9.135 orang; dengan jangkauan mingguan sebanyak 5-6 juta orang atau yang klik news yang dimuat pada page
- Grup Masyarakat Pluralis Indonesia, dengan jumlah members 886 orang
- Grup Diaspora Nusa Tenggara Timur + IKA NTT-USA, dengan junlah members 900 orang
- Grup Moral Politik, dengan jumlah members 23.697 orang
Survei dilakukan 22 Mei - 31 Mei 2013; masukan-masukan, tanggapan, atau jawaban yang menjadi bahan (hasil) survey diberikan (secara tertutup) melalui inbox page atau pun inbox FB. Analis terhadap jawaban/masukan dilakukan 23 Mei sampai hari ini (3 Juni 2013).Untuk validitas jawaban, maka hanya masukan-masukan dari pemilik acount FB, yang jelas info profilenya (misanya, nama, umur, alamat/kota, agama, foto-profile, dan info publiknya); jika tidak ada data-data tersebut, walaupun masukannya bagus, maka tak jadikan masukan dan dianalis.
Berdasar semuanya itu, maka ada beberapa pendapat publik (khususnya dari media sosial), antara lain
- Jumlah tempat Ibadah, bukan merupakan ukuran adanya toleransi dan juga intoleransi di Indonesia; dan sangat berpikiran dangkal jika menggunakan hal tersebut
- Proses pembangunan tempat ibadah, umumnya, pada awalnya dapat diterima oleh/dan mendapat persetujuan masyarakat; akan tetapi ketika masuk para tingkat aparat pemerintah, muncul penghambatan. Ketika aparat menghambat, maka dengan pasti akan terjadi perubahan; masyarakat (setempat) yang tadinya memberi izin (tanda tangan izin), berubah jadi menolak; dan biasanya muncul jika telah ada seruan-seruan dari ormas tertentu
- Nasib PNS, terutama guru,yang beragama minoritas; jika diukur dari masa jabatan, pangkat, dan golongan, maka seharusnya telah mejadi/mepunyai jabatan yang lebih tinggi (misalnya Guru PNS, seharusnya jadi Kepala Sekolah), akan tetapi karena faktor agama, mereka tak bisa menduduki jabatan tersebut
- Gangguan terhadap ibadah di Rumah Warga; misalnya, ada Kebaktian atau Sembayangan Syukur, Rumah Tangga, Ulang Tahun, (yang tidak rutin) di rumah warga atau umat (dari gereja tertentu), maka mereka harus melalui proses izin rt/rw, bahkan dari Lurah. Jika ada izin pun, maka ketika ada kebaktian berlangsung, nyanyian dan doa, ada saja gangguan berupa bunyi motor yang keras, petasan, bising dan lain sebagainya; dan itu dilakukan oleh (bukan para tetangga) orang-orang yang sangat jelas siapa mereka dari kostum yang dipoaki
- Gangguan-gangguan kecil ke/pada kendaraan umat di sekitaran tempat ibadah, misanya, kempeskan ban, menoreh/membaret mobil dengan paku, memecahkan kaca, dan sebagainya
- Melempar atap tempat iabdah/terutam gereja, pada waktu ibadah
- Menyebut atau menyapa mereka (terutama anak-anak) dengan sebutan "dasar anak kafir loe, ..." atau sebuat tak bersahabat lainnya
- Perlakuan tak semestinya, yang diterima aparat, instansi pemerintah karena atau setelah melihat KTP, mereka memperlama atau memperpanjang proses pengurusan (administrasi tertentu) atau pun meminta imbalan uang yang cukup besar jumlahnya
- Tidak mau menerima mereka ngontrak rumah yang beda agama; jika menerima pun, maka syaratnya adalah tak boleh sembayangan di situ/rumah yang dikontrak itu
- Tidak mau bertetangga dengan dengan yang beda agama
- Orang tua melarang anak-anaknya bermain, ngumpul, bareng dengan mereka yang tak seiman, seagama
- Tidak menerima pemberian kirman makanan dari mereka (tetangga) yang beda agama; ada kasus, sang tetangga menerima namun, ketangkap oleh si pemberi, ia membuang kiriman makanan dike dalam parit ataupun tempat sampah
- Pengurus lingkungan, rt/rw/dewan keluraha, tak boleh yang berasal dari bukan seiman
- Tak boleh pacaran, apalagi menikah dengan mereka yang beda agama, iman, kepercayaan (menurut saya, untuk yang ini, belum tentu tergolong sebagai intoleran)
- Mendapat perlakuan tidak adil dari guru tertentu karena beda iman, agama, kepercayaan dari sang guru
- Adanya, ceramah, khotbah, yang dengan jelas menyerang ajaran agama tertentu
- Adanya coretan, vandalisme pada tembok rumah tinggal, tempat ibadah, dinding pagar, dengan kata-kata yang tak beretika serta bernada sentimen SARA
Masih banyak pendapat lain (dari sekitar 200an masukan yang layak dipelajari), namun semuanya tergolong pada hal-hal di atas.
13701595221883255117LINKÂ TERKAIT
Proses Penyegelan dan Pembongkaran Gedung Gereja
Prosedur Tetap Intoleransi di Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H