Ia dinamai PEREMPUAN
Perempuan atau wanita, (Inggris, woom'-an, Ibrani, 'ishshah), sebetulnya hanya merupakan bentuk feminim dari ‘ish atau laki-lakii, yang menunjuk pada hanya sedikit perbedaan antara manusia laki-laki dan perempuan. Namun, entah kapan dimulainya dan oleh siapa, manusia pada masa kini telah membuat begitu besar perbedaan antar keduanya. Bahkan tokoh-tokoh agamapun, seringkali ikut terlibat dalam melakukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Semua agama samawi -Yahudi-Katolik-Kristen-Islam- mempunyai pandangan yang hampir sama tentang asal mula manusia laki-laki dan manusia perempuani. Ajaran agama-agama tersebut -walaupun dengan pengungkapan yang berbeda- setuju bahwa Tuhan Allah lah yang menciptakan alam semesta dan segala sesuatu yang terbentang di dalamnya, termasuk manusia. Tuhan Allah menciptakan manusia dalam perbedaan gender yang sepadan, agar mereka saling menghormati dan menghargai. Ini berarti -kita- tidak boleh membagi manusia menurut berbagai perbedaan kaya miskin, kedudukan, derajat dalam masyarakat, bahkan meniadakan sentimen gender.
Akan tetapi, dalam perkembangan kemudian, suasana harmonis antara manusia laki dan manusia perempuan tersebut menjadi rusak. Bumi -tepatnya lingkungan hidup- menjadi dunianya laki-laki, dan rumah atau tempat tinggal menjadi dunianya perempuan. Ketidakharmonisan ini semakian berkembang sehingga perempuan tidak lagi dinilai sebagai manusia seutuhnya tetapi dihargai sama seperti harta milik seorang laki-laki.
Karena sebagai harta milik, maka perempuan “menjadi sekedar aksesoris laki-laki yang memilikinya”. Perempuan diberi “batasan dan larangan-larangan” sehingga walaupun dalam hatinya ia memberontak tetapi suara dan gerakan pemberontakkannya tidak terdengar. Pada umumnya, perempuan tetap berada dalam kotak “sebagai mahluk lemah yang membutuhkan perlindungan” dan harus ditolong, serta hanya mampu berkarya dalam dunianya yaitu memasak, melahirkan dan menyusui anak-anak. Sikon seperti itu, menjadikan perempuan hanya berusaha dan berkarya di lingkungan yang tidak mampu dilakukan oleh laki-laki. Artinya hanya mengfokuskan diri sebagai makhluk yang haid, hamil, melahirkan, dan menyusui, serta menyediakan makanan untuk laki-laki.
Padahal, yang seharusnya terjadi adalah kemitrasejajaran harmonis antara laki-laki dan perempuan yang ditandai dengan adanya sikap saling peduli, menghormati, menghargai, membantu, dalam suasana kebersamaan, dalam proses pembangunan, kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, bidang keagamaan termasuk bergereja atau berjemaat. Perempuan mempunyai potensi yang sama baiknya dengan laki-laki. Namun, potensi itu belum kelihatan, karena itu harus terus digali dan ditumbuhkan. Pemberdayaan perempuan sesungguhnya mengacu pada semua manusia diciptakan dengan hak-hak yang sama. Jadi, wajar jika perempuan mendapat kesempatan sama dalam bidang pekerjaan dan pelayanan. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan mental dan spiritual perempuan, antara lain
- perempuan tidak boleh dibatasi untuk menduduki jabatan, kedudukan, kekuasaan, dan peran tertentu karena ia terlahir sebagai perempuan
- perhatian dan perlakuan [dari orang tua, pendidik, pemerintah, dan masyarakat] yang diberikan kepada perempuan, tidak menekankan pada adanya perbedaan fisik dan seksualitas, melainkan perbedaan [peran] gender
- dengan itu, adanya pemahaman bahwa perempuan dan laki-laki merupakan mitra sejajar yang dapat saling menghormati, mengisi, membantu, menolong sesuai dengan peran mereka masing-masing; perempuan dan laki-laki dapat melaksanakan berbagai profesi, namun ada peran tertentu yang hanya bisa dilakukan oleh salah satu diantara mereka
- Jappy Pellokila
- Retno Hartati Hdy