Mohon tunggu...
OPA JAPPY
OPA JAPPY Mohon Tunggu... profesional -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Acount Baru http://www.kompasiana.com/opajappy

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kebohogan Publik Menteri Luar Negeri RI

25 Mei 2012   10:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:48 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_183500" align="alignright" width="300" caption="kompas.com"]

133791264481379116
133791264481379116
[/caption]
Bohong artinya tidak sesuai dengan hal-keadaan-sikon yang sebenarnya; bukan yg sebenarnya; kebohongan adalah sesuatu yang bohong, tak mengungkapkan yang sebenarnya. Publik bermakna orang banyak atau umum; semua orang yang ada; orang ramai, masyarakat luas. Kebohongan Publik, adalah seseorang yang dengan sadar berkata - menyampaikan - melakukan kebohongan; dan ungkapan tersebut, tersebar luas dan bisa dipahami sebagai kebenaran atau  dipercayai kebenarannya.
Sebelum membaca lebih jauh, jika anda belum baca news ini, maka silahkan nikmati:
Jawaban-jawaban yang disampaikan delegasi pemerintah, yang dipimpin Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, dinilai tak lebih dari sekadar respons untuk menghindar. Salah satu kecaman disampaikan Direktur Eksekutif Komisi HAM Asia (AHRC) Wong Kai Shing, seperti tercantum dalam situs web AHRC, Rabu (23/5).Jawaban Pemerintah RI dalam sesi ke-13 sidang kelompok kerja Universal Periodic Review untuk Indonesia di Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Geneva, Swiss, disikapi negatif dan dianggap mengecewakan banyak kalangan.”Respons Pemerintah RI terkait isu pelanggaran HAM, yang disorot dalam sidang UPR, sangat mengecewakan. Apa yang disampaikan tak lebih dari sekadar penyangkalan dan justru semakin menunjukkan ketiadaan penghormatan kepada para korban dan hak-hak mereka,” ujar Wong.
Sementara juru bicara Amnesty International, Josef Benedict, menyoroti berbagai bentuk pembiaran aparat Kepolisian RI atas sejumlah insiden kekerasan oleh kelompok-kelompok garis keras terhadap warga minoritas di sejumlah tempat di Indonesia. ”Kondisi seperti itu menjadi catatan penting bagi kondisi HAM di Indonesia. Pemerintah memang telah memperkuat Komisi Kepolisian Nasional, tetapi mekanisme akuntabilitasnya tetap tidak memadai,” ujar Benedict dari London, ketika dihubungi Kompas, Selasa malam.Beberapa sorotan Banyak negara, terutama negara maju, mempertanyakan meningkatnya aksi kekerasan dan intoleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia. Menurut laporan Human Rights Watch, jumlah insiden seperti itu cenderung naik dalam empat tahun terakhir. Ketua Komisi Nasional Perempuan Yuniyanti Chuzaifah mencatat sejumlah isu besar lain juga disorot banyak negara dalam sidang UPR di Geneva itu.Beberapa isu yang disorot itu, antara lain, kekerasan terhadap perempuan, penuntasan berbagai kasus kekerasan masa lalu, dan juga soal pentingnya intervensi dalam kasus Papua, demi memastikan penuntasannya dilakukan dengan mengedepankan dialog dan menghentikan impunitas.”Juga ada sorotan terhadap banyaknya produk peraturan daerah yang diskriminatif sehingga sejumlah negara mendesak Pemerintah Indonesia segera melakukan harmonisasi perundangan,” papar Yuniyanti dalam surat elektronik kepada Kompas. Dia juga mendesak pemerintah bisa segera mengadopsi seluruh rekomendasi pokja UPR Dewan HAM PBB itu dalam waktu dua kali 24 jam.
Dalam kesempatan terpisah Direktur Eksekutif Migrant Care Indonesia Anis Hidayah menyebut klaim pemerintah telah melindungi buruh migran tak lebih dari sekadar usaha manipulasi, mengingat hingga saat ini masih ada 417 tenaga kerja Indonesia terancam hukuman mati di luar negeri.
(http://internasional.kompas.com/read/2012/05/25/07531959/
Jawaban.RI.Mengecewakan)
Jawaban Marty Natalegawa, sekadar menghindar. Respons Pemerintah RI terkait isu pelanggaran HAM, yang disorot dalam sidang UPR, sangat mengecewakan. Apa yang disampaikan tak lebih dari sekadar penyangkalan dan justru menunjukkan ketiadaan penghormatan kepada para korban dan hak-hak mereka.
Ini adalah catatan memalukan terhadap sang Menteri Luar Negeri dan juga bangsa Indonesia. Ia, sang menteri itu, mungkin berpikir bahwa dunia tak pernah dan belum tahu, sehingga ia mengelak; padahal yang dunia minta adalah mengungkap apa adanya atau kejujuran.
Walau saya masih cinta NKRI, tetapi kali ini sangat setuju dengan Direktur Eksekutif Komisi HAM Asia (AHRC) Wong Kai Shing, dan juga mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia tidak jujur (sekali lagi, tidak jujur atau berbohong) mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM di Nusantara. Di mata Internasional, NKRI sudah menjadi salah satu negara pelanggar - penindas - penghambat HAM, dan setara dengan negara-negara di Afrika.  ... tragis ...

13379128681455277219
13379128681455277219
Secara sederhana, HAM adalah hakekat asali pada manusia yang sejak semulanya [sejak manusia diciptakan, sejak semula manusia itu ada] telah ada dalam atau melekat pada dirinya; hak tersebut tidak boleh dirampas atau dirusak oleh siapapun. Seiring dengan perkembangan peradaban, maka kesadaran manusia terhadap HAM nya, juga mengalami pengembangan. Unsur-unsur yang menyangkut HAM yang seharusnya ada pada seseorang, antara lain, mendapat kehidupan layak, memiliki sandang, pangan papan; memilik rasa aman atau keamanan diri dan sosial; aktualisai diri dan kebebasan berpendapat serta berpolitik; perlindungan dari kekerasan; hak hukum atau mendapat perlindungan hukum dan keadilan; hak memiliki kekayaan; hak memperoleh pendidikan; melakukan mobilitas hidup; berpindah agama atau memilih tidak beragama; bebas dari diskriminasi, penindasan, serta anarkisme, dan lain-lain.

Akan tetapi, realitasnya, di hampir semua tempat dan lingkungan hidup dan masyarakat, pada banyak negara [terutama di Eropa Timur, Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia] terjadi penindasan dan penghambatan HAM. Penindasan dan penghambatan tersebut terjadi sejak masa lalu, dan hampir tidak ada upaya untuk memperbaikinya. Penghambatan [terjadi secara parsial maupun terencana] tersebut bisa dilakukan oleh siapa pun, misalnya negara, pemerintah, rakyat biasa, maupun umat beragama.

Penghambatan HAM yang terus menerus, dianggap biasa (biasa-biasa) saja akan menjadi terstruktur dan sistimatis, kemudian bertumbuh serta berkembang sebagai pelanggaran. Pelanggaran HAM merupakan berbagai perilaku [dan kata-kata, pendapat, opini] seseorang kepada sesamanya, menjadikan orang [sesamanya itu] mengalami hambatan dalam mengaktualisakan aspek-aspek yang melekat pada dirinya dengan bebas, baik, dan benar.

Di banyak tempat, dimuka bumi ini ditemukan orang-orang [dari berbagai etnis dan agama] tanpa perlindungan HAM, bahkan hampir tidak mengetahui HAMnya sendiri. Berabab-abad lamanya, manusia menjadi serigala terhadap sesamanya, sehingga nilai dan harkat kemanusiaannya menjadi runtuh dan hancur. Misalnya, ekspansi dan migrasi manusia ke tempat atau wilayah-wilayah baru, jika ditemukan penduduk asli, tidak sedikit dari para pendatang itu melakukan pembersihan etnik, penindasan, dan kekerasan; sebagai contoh, berbagai kepahitan hidup dan kehidupan yang dialami oleh suku-suku Indian di Amerika, serta suku Aborigin di Australia.

Dalam rentang waktu lama, peperangan, perbudakan, perdagangan wanita dan anak-anak, merupakan andil terbesar pada pelanggaran dan penindasan HAM. Di banyak tempat terjadi pembantaian massal yang menghancurkan, seluruh atau sebagian etnik, ras atau kelompok agama. Seperti membunuh anggota-anggota dari suatu kelompok; menyebabkan cacad tubuh dan mental dari anggota suatu kelompok; sengaja melukai kelompok tertentu; secara paksa memindahkan anak dari suatu kelompok ke yang lain. Di banyak tempat, secara tersirat adanya tindakan-tindakan bergaya Politik Apartheid. Misalnya, terjadi dominasi dari satu kelompok rasial terhadap yang lain; dan secara sistematis kelompok agama dan etnik mayoritas menekan minoritas, sehingga muncul penolakan hak-hak serta kebebasan individu mereka; pembunuhan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya; menolak hak kelompok lain untuk berpartisipasi pada bidang politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, pembatasan pada pekerjaan, aktifitas gerakan serikat buruh, kebebasan berekspresi, dan lain-lain.

Pelanggaran dan penghambatan HAM, bukan hanya perilaku kontemporer umat manusia pada suatu rentang waktu dan lokasi tertentu, melainkan tindakan-tindakan yang terjadi sejak masa lalu, namun tidak pernah hilang serta dihilangkan. Hal itu juga berarti, pelanggaran dan pembatasan HAM telah merupakan suatu kegiatan yang muncul dan terjadi seiring dengan sejarah umat manusia dan kemanusiaannya. Pelanggaran dan pembatasan HAM terjadi pada dan oleh banyak orang di semua bangsa, suku bangsa, dan sub-suku; dan korbannya pun adalah mereka yang berasal dari berbagai bangsa, suku bangsa, dan sub suku.

Selanjutnya ....

Jika makna pelanggaran - penghambatan HAM seperti itu (di atas), Apakah memang di Nusantara tak ada hal-hal di bawah ini!? Sehingga Menlu yang bicara atas nama Negara harus membohongi dan berbohong ke/pada Dunia!? Lihatlah apa yang sementara terjadi di negeri ini, NKRI tercinta:

  • intoleran
  • brutal atas nama agama
  • penindasan terhadap agama-2 serta kepercayaan minoritas
  • pengrusakan - kebrutalan tempat ibadah
  • radikalisme atas nama agama
  • pembunuhan atas nama agama
  • penghancuran - pembakaran tempat ibadah minoritas
  • pengusiran kaum minoritas
  • penghujatan terhadap agama-agama melalui PENGERAS SUARA
  • pejabat - pejabat pemerintah yang mengeluarkan KEBIJAKAN RASIS - RASIALIS, yang atas nama kuasa dan kekuasaan, melakukan PELECEHAN terhadap umat beragama
  • dan lain - lain

1337348895613463306
1337348895613463306

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun