Narasi-narasi tetang asal mula peradaban (terutama dari Timur Tengah, China, Afrika) menunjukan bahwa manusia kuno telah mampu menghasilkan unsur-unsur budaya dalam rangka mengembangkan hidup dan kehidupan mereka. Hal-hal pertama yang mereka kembangkan adalah pengelolaan tanah atau pertanian, peternakan, penyembahan kepada Ilahi, kemudian membangun kota. Tentu saja dalam kota tersebut, berdiam komunitas masyarakat yang sarat dengan berbagai aspek, termasuk struktur dan tatanan kekuasaan atau pun pemerintahan (negara) kota atau polis. Adanya negara kota seperti itu, agaknya merupakan ciri khas masyarakat (Timur Tengah) pada masa lalu. Pusat kekuasaan dan pemerintahan ada pada pemimpin-pemimpin. Nantinya, pada masa Nimrod, ia disebut orang yang pertama kali berkuasa di Bumi; serta kerajaannya membentang dari pantai teluk Persia sampai wilayah hulu sungai Efrat dan Tigris.
Dari hal-hal di atas, kesimpulan sederhana bahwa, dalam kerangka
Pada konteks itu, pemerintah (sesederhana apapun bentuknya) mempunyai atau memiliki kekuasaan (dan berkuasa) terhadap masyarakat atau rakyat yang dipimpin. Di sini, jelas bahwa pemerintah (dhi. Negara) tidak dibentuk oleh TUHAN atau pun Allah, melainkan manusia. Manusia membentuk negara (dan juga alat-alat kekuasaan, misalnya militer serta sistem pemerintahan) untuk memerintah serta menaklukkan, berkuasa, menguasai sesamanya.
Bersamaan dengan itu, muncul keinginan dalam diri manusia untuk menguasai dan menaklukkan wilayah termasuk manusia di dalamnya. Sehingga perangkat terampuh untuk dapat mengusai sesama manusia adalah membentuk negara. Jika negara terbentuk karena ada lokasi (wilayah), komunitas, dan pemerintah (penguasa); maka pemerintah membentuk alat-alat kekuasaan agar bisa mengatur, menguasai, menata rakyat yang berada pada wilayah kekuasaan (wilayah negara).
Upaya untuk mengatur dan menata rakyat pada suatu lokasi (negara) tersebut, maka pemerintah membuat undang-undang dan peraturan agar ditaati oleh seluruh warga negara dan aparat pemerintah. Sekaligus, negara membentuk institusi yang memberi sanksi terhadap para pelanggar undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah.
Dengan demikian, terbentuknya negara (agar berfungsi) sebagai alat untuk kebaikan dan ketertiban umat manusia. Dalam kerangka adanya kebaikan dan ketertiban itu, (aparat) negara harus mampu mencegah munculnya kejahatan, serta sebisa mungkin menghasilkan yang baik. Walaupun demikian, kekuasaan dan wewenang yang pada negara (orang-orang yang mengatur negara) tidak boleh menyalahgunakan kekuasaannya. Artinya, manusia tidak boleh menggunakan kekuasaan yang padanya untuk menindas sesamanya, pertumpahan darah, peperangan, serta berbagai tindak otoriter serta perbuatan anarkhis lainnya.
Sikon kita, di Nusantara, yang ada NKRI tercinta, negara sebagai alat untuk kebaikan dan ketertiban umat manusia (manusia Indonesia) di Nusantara, agaknya jauh dari harapan. Pada era sekarang ini, pemerintah yang sekarang, manusia Nusantara yang seharusnya telah menjadi manusia baru hasil reformasi, tertib, maju, dan saling menghargai sesama sebagai anak bangsa, ternyata ... .
Kekuasaan dan wewenang yang pada negara (orang-orang yang mengatur negara) yang seharusnya tidak menyalahgunakan kekuasaannya; tidak menggunakan kekuasaan yang padanya untuk menindas sesamanya; meniadakan pertumpahan darah, permusuhan antar warga; meniadakan tindak otoriter aparat negara; serta menghapus perbuatan anarkhis atas nama agama, dan lain sebagainya, lainnya; ternyata terjadi kebalikannya.
Kini, di sini, pada negeri ini, NKRI tercinta, pada satu sisi, sisi rakyat kecil, sisi umat minoritas, sisi rakyat yang tanpa uang, kuasa, dan kekuasaan, terjadi semua kebalikan dari fungsi negara yang baik dan benar. Di sana - sini, aparat negara menunjukan bahwa kekuasaan dan wewenang yang pada mereka bertujuan untuk negara menyalahgunakan kekuasaannya. Tidak sedikit aparat negara yang bekerja sama dengan preman-preman keagamaan, ormas radikal, pengusaha hitam, tokoh agama, politisi busuk, (dan secara bersama) melakukan penindasan, membunuh, bertindak brutal, merusak, menyingkirkan mereka yang tak sejalan-sepaham.
Aparat Negara, lebih mudah diam dan mengalah daripada menghasilkan perdamaian dan kebaikan kepada segenap warga masyarakat. Bahkan, negara lebih banyak diam dan tak berbuat untuk membela dan menenangkan warga (terutama kaum minoritas karena perbedaan sara) yang tertindas - tersingkir oleh mereka yang (merasa) kuat serta mayoritas.
Dan akhirnya, kita, rakyat (dalam/pada sikon hidup dan kehidupannya) harus menerima bahwa untuk dirinya, Negara tidak berfungsi ..... itulah nasib rakyat dan bangsa ini; lebih banyak rakyat ada pada wilayah yang Negara Tidak berfungsi; sehingga terasa bahwa mereka ada di negeri yang lain, negeri yang diperintah oleh pemerintah yang tidak berfungsi.
Jappy Pellokila