Politik [Indonesia], politic, [Inggris] adalah padanan politeia atau warga kota [Yunani, polis atau kota, negara, negara kota]; dan civitas [Latin] artinya kota atau negara; siyasah [Arab] artinya seni atau ilmu mengendalikan manusia, perorangan dan kelompok.
Secara sederhana, politik berarti seni pemerintah memerintah; ilmu memerintah; cara pengusaha menguasai. Makna politiknya semakin dikembangkan sesuai perkembangan peradaban dan meluasnya wawasan berpikir. Politik tidak lagi terbatas pada seni memerintah agar terciptanya keteratuaran dan ketertiban dalam masyarakat polis; melainkan lebih dari itu.
Dengan demikian, politik adalah kegiatan [rencana, tindakan, kata-kata, perilaku, strategi] yang dilakukan oleh politisi untuk mempengaruhi, memerintah, dan menguasai orang lain ataupun kelompok, sehingga pada diri mereka [yang dikuasai] muncul atau terjadi ikatan, ketaatan dan loyalitas [walaupun, yang sering terjadi adalah ikatan semu; ketaatan semu; dan loyalitas semu].
Dengan itu, dalam politik ada hubungan antar manusia yang memunculkan menguasai dan dikuasai; mempengaruhi dan dipengaruhi karena kesamaan kepentingan dan tujuan yang akan dicapai. Ada berbagai tujuan dan kepentingan pada dunia politik, dan sekaligus mempengaruhi perilaku politikus.
Karena ada kegiatan untuk menguasai yang lain itulah, maka banyak orang mau-ingin menjadi politikus; karena tujuannya adalah (dengan uang yang ada padanya) ia dapat menyalurkan nafsu menguasai sesama manusia; dan dengan itu juga ia mampu mendapat keuntungan dari yang dikuasai. Dan mereka itu termasuk para tokoh agama; sehingga mereka menjadi tokoh agama-politisi atau  politisi-tokoh agama.
Oleh sebab itu, tidak bisa dibantah bahwa pengaruh politik agama dan tokoh agama politik di/ke dalam ranah perpolitikan Indonesia sangat jelas dan kentara. Misalnya, pada/di pemilihan orang-orang yang akan memangku jabatan-2 yang strategis (ditingkat Nasional), harus mempertimbangkan agama "yang akan dipilih tersebut;" jika tidak, maka ada penolakan dan penolakan. Itu salah satu contoh.
Ada lagi yang lebih transparan. Lihatlah, jika para pejabat berpidato, ceramah, diwawancara, atau apalah tindakan/kata-kata mereka di hadapan publik, jika menyangkut agama, maka (sangat jelas) mereka hanya menyebut (karena hanya mengena) satu agama yaitu Islam / Muslim. Â Sering dan selalu terdengar (dari para pejabat publik) ungkapan seperti ini,"Â Muslim dan Non Muslim" - "Pejabat yang Muslim dan pejabat yang Non Muslim" - "Anggota DPR yang Muslim dan Anggota DPR yang Non Muslim" - "Masyarakat Muslim dan Masyarakat Non muslim" - "Agama Muslim dan Agama Non Muslim" - "Mayoritas Muslim dan Mayoritas Non Muslim" - "Minoritas Muslim dan Minoritas Non Muslim" - "Dan masih banyak sebutan Muslim dan Non Muslim lainnya"
Para pejabat publik seperti lurah, camat, walikota, bupati, gubernur, Â menteri, dan seterusnya, para anggota parlemen, para hakim-jaksa, Â para kepala sekolah, dekan, rektor, artis, dan para-para yang lain, AGAKNYA hanya mengenal MUSLIM Â dan tak mengenal yang lain.
Bagi mereka sangat HARAM dan NAJIS jika menyebut agama yang lain, selain Muslim/Islam; dalam/pada otak rasialis mereka yang ada hanya Muslim/Islam dan tak ada Katolik, Kristen, Hindu, Budha, Kon Hu Chu, dan lain-lain. Banyak orang sepertinya tak  mau dan enggan menyebut yang lain itu sesuai identitas agama dan kepercayaannya.
Dari semuanya itu, penyebabnya adalah pengaruh politik agama dan tokoh agama ke/dalam ranah publik; dan juga adanya pemikiran rasialis pada perpolitikan Indonesia. Model seperti itu, maka rakyat Indonesia yang Hindu, Budha, Protestan, Katolik, Kong Hu Chu, pada tataran Nasional, tidak pernah disebutkan, tidak pernah dikenal, dan tak dianggap.
Pada tataran Nasional, hanya ada SATU dan yang lain itu adalah Non yang Satu tersebut, oleh sebab itu pemerintah harus memperhatikan yang satu, dan tak peduli ke/pada non yang satu.
Itulah model politik yang merusak bangsa dan rakyat NUSANTARA; dan tak ada keinginan untuk merubah keadaan. Â Model Politik Rasialis tersebut telah merambah masuk ke berbagi sendi hidup dan kehidupan masyarakat. Sehingga, dalam percakapan sosial pun sama. Banyak orang hanya mengenal Muslim dan Non Muslim; enggan - haram - najis, jika menyebut yang Non itu sesuai dengan id keagamaannya. Â Ini karena masyarakatnya juga rasialis!? Bisa, ya - bisa juga, tidak. Yang pasti, itu karena ada contoh dari para elite bangsa, contoh dari media massa, contoh dari media elekronik, contoh dari public figure, contoh guru - dosen - dekan - rektor, dan contoh dari para tokoh serta politisi, contoh dari presiden, contoh dari menteri, dan seterusnya.
Agaknya bangsa ini harus berubah; sehingga makna kebersamaan - kesetaraan - toleransi, juga bisa berarti menyebutyang lain itu sesuai dengan id keagamaannya serta tidak merasa malu - haram - najis jika menyebut Kristen, Portestan, Hindu, Budha, Kong Hu Chu, dll; dan justru merasa malu dan memalukan jika hanya menyapa Muslim dan Non Muslim.
Jappy Pellokila
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H