Mohon tunggu...
OPA JAPPY
OPA JAPPY Mohon Tunggu... profesional -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Acount Baru http://www.kompasiana.com/opajappy

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Jemaat di Ibadah Natal [Pengalaman dan Kritik]

27 Desember 2010   09:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:21 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENJADI JEMAAT

DI IBADAH NATAL

[pengalaman dan kritik]

Natal kali ini, tahun 2010, untuk banyak orang mungkin merupakan pengalaman tersendiri; ada yang sudah lama tidak ikut, ada yang baru kali pertama, ada juga kali ini jauh dari keluarga, dan tak sedikit yang kali ini merayakan Natal dalam kesepian sebagai janda, duda, yatim piatu, bahkan banyak yang kali ini merayakan Natal sebagai suami-istri.

Nah, sama dengan diriku, kali ini, kebetulan ada di pinggiran Jabotabek, ikut rangkaian Ibadah Natal di tempat/gereja [umatnya] 'yang tidak mengenal siapa jati diriku.' Kebetulan gereja yang ku datangi adalah Gereja Tua [secara Institusi], Protestan, gedung megah, di pinggir jalan utama, jemaatnya lebih dari 2000 Kepala Keluarga, dan beberapa kelebihan lainnya. Saya yakin, wilayah pelayanannya luas, sebab mempunyai tiga orang pendeta organik serta banyak pendeta pelayan umum serta pendeta domisili. Jadi, anda bayangkan sendiri, rangkaian Ibadah Natal 24, 25, 26 Desember, penuh dengan jemaat, dan [diri ku ada di situ, sebagai yang ikut ibadah].


Biasanya, 'jika ku tidak ada pesanan-kerjaan menabur' maka ku selalu Ibadah di gereja tersebut; dan selalu duduk di kursi paling depan, depan mimbar; bukan karena ku mau nampang, tapi memang selalu kosong, karena jemaat 'hampir' tidak mau duduk paling depan.


Kali ini, pada rangkaian Ibadah Natal, ku duduk paling belakang, [dekat pintu masuk, agar cepat-2 pulang, salaman dengan pendeta, pulang lebih awal, dan lebih dulu dapat angkot]. Gedung geraja penuh dengan jemaat, semua tenda di kiri-kanan-depan gedung gereja juga penuh; mungkin lebih dari 2000 orang yang ikut ibadah.

Ku sengaja memilih jam ibadah soreh, malam, pagi, agar bisa mendapat/membaca pesan serta pengalaman sehingga bisa ditulis [menulis catatan ini]. Dan ternyata, memang banyak yang menarik dan perlu di kritisi bersama [terutama oleh para presbyter]. Hal-hal tersebut antara lain:


  1. Ucapan selamat datang; sang petugas yang penatua berkata, ".... kami  atas nama .... mengucapkan selamat datang kepada jemaat dan simpatisan, dstnya"  Lho, ko gunakan kata 'SIMPATISAN' memang ada simpatisan gereja atau simpatisan kristen yang masuk gereja!? Pada hemat ku, siapa pun yang masuk/ada dalam gereja [pada saat itu, pada saat ini, saat Natal] adalah umat yang mau beribadah. Dan tak boleh ada pemilahan sapaan jemaat dan/ataupun simpatisan; semuanya sama, sama-sama umat milik Kristus, tiada yang beda dan membedakan
  2. Nyanyian-2 baru; bagus juga ada nyanyian baru, namun ketika Ibadah Natal, menjadikan banyak jemaat hanya berguman, atau mungkin buka mulut tanpa suara, karena mereka tidak tahu lagu-2 tersebut. Ketika, ku memasang telinga ke jemaat di depan dan kanan ku, memang benar, mereka membuka mulut tanpa nyanyian, atau bernyanyi tanpa suara!? Ada baiknya di/dalam Ibadah Natal, gunakan lagu-lagu yang sudah di kenal jemaat, yang semua bisa nyanyikan dengan mudah serta gembira.
  3. Pesan Natal atau Khotbah atau Pidato atau apa .......!? Ini yang paling membuat ku tak habis pikir; apa yang hendak ku katakan/tulis!? Pembacaan teks Alkitab, cuma beberapa ayat [ini bagus], namun, hanya namun ..... .  Sementara sang pengkhotbah berkhotbah, jemaat yang di sebelah kiri ku dan depan ku, ngobrol, cerita, lihat jam, perbaiki baju, menarik tali bh yang nongol d bahu, juga ada sebentar-bentar perbaiki-menarik rok/baju karena terlalu pendek sehingga memamerkan paha. Praktis semunya itu, juga bisa 'mengganggu' umat yang lain, yang  mau dengar pesan Natal. Tapi, nanti dulu, buatku, mengapa jemaat tidak memperhatikan sipengkhotbah!? Ternyata bukan salah jemaat, jika mereka sibuk sendiri, dan si pengkhobah bicara sendiri [mungkin ia terlalu yakin, bahwa pasti dan sementara diperhatikan ribuan pasang mata];  Ku berusaha menerima khotbah dan memahami pesan yang di dengar, hmmmmm tidak ada yang di dapat. Sang pengkhotbah membuat ilustrasi yang melebar [yang menurutku, tak pas dengan pesan teks Alkitab], uraian teks yang tak kena mengena dengan sikon teks, bahkan jauh dari 'kejujuran hermeneutika' serta penuh dengan kata-kata yang tak perlu. Yang terdengar bukan pesan Natal, tetapi ngobrol sana-sini tentang natal; wajar saja, jika jemaat di kiri dan depan serta di bagian-bagian lain sibuk sendiri. Di samping itu, sang pengkhotbah seakan berbicara dengan orang yang sama sekali tidak tahu makna Natal atau belum pernah 'Natalan' akibatnya ada jemaat [dari profilenya, saya pastikan ia dari Indonesia Timur] yang nyelutuk [dan ku dengar], "ini pedeta khotbah kaya katong seng tahu makna natal; beta su puluhan tahun natalan, tar ada pesan baru for beta," Nah...!! Ku pastikan ada banyak jemaat seperti itu.
  4. Doa syafaat atau Khotbah yang Kedua!? Setelah mendengar khotbah [lebih dari 40 menit, serta tak ku mengerti, tak ada pesan yang ku dapat] yang melelahkan, dilanjutkan dengan pengakuan iman, dan doa syafaat. Astaga, doa syafaat, menjadi sama dengan khotbah. Doa, yang secara sederhananya adalah 'permintaan' telah menjadi nasehat moral; jadinya nasehat dalam doa atau doa dalam nasehat!? Dan, apa yang terjadi!? Ku membuka mata; ternyata, ku tak sendiri, banyak yang membuka mata, ngobrol, lalu-lalang; sungguh doa tanpa makna dan tak ada makna ketika berdoa.
  5. "Psikhologi Sikon Ruangan Ibadah," ini yang mungkin tak dipahami oleh para pengatur/layout ruang jemaat dan sang pengkhotbah. Agaknya jika ada penataan maka, keluarga-2 dengan anak-anak kecil [yang sepanjang ibadah hanya mondar mandir] tidak mengganggu jemaat lainnya. Juga, jika sang pengkhotbah mengetahui hal ini, maka ia tidak  melakukan pidato natal yang panjang namun tak ada pesan serta tak dimengerti jemaat.
  6. Mungkin saja, banyak orang seperti diriku, yang juga tak mendapat apa-2 ketika ibadah natal. Atau, Ibadah Natal telah menjadi salah satu syarat 'Orang Yang Merayakan Natal'!? Jika itu, maka kita wajib ikut Ibadah Natal, tetapi jika bukan syarat, maka  ku usulkan TAK PERLU datang/ikut IBADAH NATAL atau tiadakan saja IBADAH NATAL.
  7. JIKA mau pertahankan Ibadah Natal [dan nanti] Ibadah Akhir Tahun dan Awal tahun, persiapkanlan dengan baik dan benar, sehingga umat mendapat pesan Tuhan, bukan sebaliknya mereka menggerutu dan hanya mendapat kelelahan.
  8. dan lain-lainnya, bertanyalah, ku akan menjawab


ITU cuma sedikit catatan ku, semoga menjadi 'peringatan dini' untuk kita jelang rangkaian Ibadah Akhir tahun dan Awal Tahun. Ku pasti tak ke gereja itu, karena 'kerjaan menabur di ladang lain'; yang pasti ketika ku menabur, ku harus ingat yang ku tulis hari ini, di sini.

JAPY PELLOKILA

komunitas rakyat biasa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun