Urbanisasi di Indonesia terus berkembang pesat, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Meskipun kota-kota ini menjadi pusat ekonomi, budaya, dan teknologi, ada masalah sosial besar yang sering terabaikan: kesenjangan sosial yang semakin melebar antara mereka yang berada di pusat kota dan mereka yang tinggal di pinggiran kota.
Menurut data tahun 2022 dari Badan Pusat Statistik (BPS) 77,48% rumah tangga di Provinsi Aceh telah memiliki akses terhadap sanitasi layak. Meski angka ini menunjukkan peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya, masih ada sekitar 22,52% rumah tangga di provinsi tersebut yang belum menikmati sanitasi layak. Kesenjangan ini mencerminkan tantangan yang masih dihadapi dalam pemerataan akses infrastruktur dasar di berbagai wilayah di Indonesia.
Urbanisasi yang tidak diimbangi dengan pemerataan pembangunan mengarah pada ketimpangan dalam banyak sektor, seperti pendidikan, sanitasi, dan ekonomi. Banyak warga yang tinggal di pinggiran kota harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan pelayanan sanitasi yang memadai, meski berada dalam jarak yang tidak jauh dari  pusat-pusat pemerintahan, dan ekonomi.
Artikel ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis dengan menganalisis masalah kesenjangan sosial di perkotaan Indonesia berdasarkan literatur yang ada, data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS), serta observasi mengenai kondisi sosial-ekonomi masyarakat di kota besar. Pembahasan ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kesenjangan sosial serta menawarkan solusi yang dapat diimplementasikan untuk mengurangi ketimpangan tersebut.
Kehidupan di kota-kota besar di Indonesia mencerminkan dua sisi yang bertolak belakang: di satu sisi, perkembangan ekonomi yang pesat, dan di sisi lain, ketimpangan sosial yang mencolok. Urbanisasi yang terjadi tidak selalu disertai dengan pemerataan pembangunan, sehingga memunculkan tantangan serius bagi penduduk, khususnya mereka yang tinggal di wilayah pinggiran.
Menurut studi yang dipublikasikan dalam Asian Development Review, urbanisasi di Indonesia telah memperlebar kesenjangan antara penduduk urban dan rural, dengan rata-rata pendapatan masyarakat perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Namun, ketimpangan ini juga signifikan dalam konteks perkotaan, karena kelompok berpenghasilan rendah sering kali tidak dapat mengakses layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
Penelitian lebih lanjut juga menunjukkan bahwa kurangnya perencanaan kota yang terintegrasi telah memperburuk ketimpangan ini. Kota-kota yang mengalami ekspansi urbanisasi tanpa pengelolaan strategis cenderung menciptakan ketimpangan yang lebih tinggi, karena fasilitas umum dan infrastruktur lebih banyak terpusat di area tertentu saja.
Oleh karena itu, untuk memahami akar permasalahan ini, berikut adalah beberapa faktor utama yang menyebabkan kesenjangan sosial serta solusi yang dapat diterapkan untuk menguranginya.
Faktor Penyebab Kesenjangan Sosial di Kota-Kota BesarÂ
Pertumbuhan Ekonomi yang Tidak Merata
Sebagai contoh, Jakarta, sebagai ibu kota negara, menjadi pusat ekonomi terbesar, tetapi pertumbuhan ekonomi di sana tidak dirasakan secara merata. Banyak orang yang bekerja di sektor informal atau pekerjaan dengan upah rendah, sementara sebagian kecil menikmati hasil dari sektor-sektor ekonomi formal yang berkembang pesat. Menurut Todaro (2000), ketimpangan ekonomi seringkali diperburuk oleh struktur ekonomi yang tidak merata, di mana segmen-segmen tertentu dari masyarakat mendapatkan manfaat lebih besar dari pembangunan ekonomi dibandingkan segmen lainnya.Ketidakmerataan Akses Pendidikan dan Kesehatan
Sementara sebagian besar sekolah dan rumah sakit modern terletak di pusat kota, wilayah pinggiran kota dan desa masih kesulitan untuk mengakses pendidikan yang berkualitas dan pelayanan kesehatan yang baik. Dalam kajian yang dilakukan oleh Sen (1999), ia menyatakan bahwa akses yang tidak merata terhadap pendidikan dan kesehatan adalah salah satu faktor utama yang memperburuk kesenjangan sosial di masyarakat.- Isu Ketersediaan Tempat Tinggal
Peningkatan jumlah penduduk di kota besar, diiringi dengan harga properti yang semakin mahal, menyebabkan banyak warga miskin terpaksa tinggal di tempat-tempat yang kurang layak huni. Di Jakarta, misalnya, harga sewa rumah dan apartemen di pusat kota sangat tinggi, sehingga banyak orang beralih ke daerah kumuh yang memiliki infrastruktur yang sangat terbatas. Harvey (2008) dalam bukunya The Right to the City menekankan pentingnya hak atas perumahan yang layak sebagai bagian dari keadilan sosial, di mana akses ke tempat tinggal yang layak adalah hak dasar setiap warga kota. Akses Terbatas terhadap Teknologi
Masyarakat di daerah pinggiran kota seringkali memiliki keterbatasan dalam mengakses teknologi dan internet yang diperlukan untuk pendidikan atau pekerjaan. Keterbatasan ini memperlebar kesenjangan sosial, karena mereka yang tidak memiliki koneksi internet atau perangkat digital sering kali kesulitan untuk memanfaatkan peluang yang tersedia di era digital. Hal ini terutama dirasakan oleh keluarga dengan pendapatan rendah, yang tidak mampu menyediakan perangkat atau layanan internet yang memadai. Castells (2010) menjelaskan bahwa ketimpangan digital, atau "digital divide", semakin memperburuk ketimpangan sosial, karena mereka yang tidak memiliki akses terhadap teknologi sering tertinggal dalam memanfaatkan peluang yang ada di era modern.-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!