Mohon tunggu...
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pembelajar tak kunjung pintar. Percaya bahwa kacamata adalah salah satu alat menutupi kebodohan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hidup Itu Menyusun Puzzle

29 November 2015   06:17 Diperbarui: 29 November 2015   07:48 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya teringat sewaktu masih duduk di sekolah TK (dulu belum ada PAUD, dab) ada permainan yang mengasah kecerdasan otak kanan kita, yaitu menyusun puzzle, saya lupa-lupa ingat dulu nyuSsun gambar apa, hehe maklum udah lama sekali, belasan tahun yang lalu. Terdapat kode-kode tertentu yang merepresentasikan di mana satu puzzle harus diletakkan agar sesuai. Saya belum sadar saat itu, permainan tersebut akan membawa kesan yang lumayan membantu untuk memaknai kehidupan yang sebegini rumit untuk dipahami dengan rumus dan kamus.

Yang menarik adalah, pertama, satu kali keliru dalam meletakkan puzzle tersebut, maka lanskap gambar itu akan selalu salah. Tidak ada jalan lain kecuali dengan memindahkan puzzle-puzzle tersebut sesuai dengan tempatnya. Kedua, pertama-pertama kita akan kesulitan meletakkan puzzle mana yang terlebih dahulu dipasang, jika sudah terpasang beberapa, maka kesulitan itu akan berkurang, dan begitu seterusnya sampai kita berulang-ulang memainkan puzzle itu, maka semakin cepat pula ingatan kita untuk terbiasa mengulanginya.

Sayang sekali, permainan itu sekarang sudah digantikan dengan gajet-gajet, meskipun di dalamnya bisa diinstal permainan puzzle tersebut, tapi tetap saja taste-nya itu kurang ngena bingit. Pesannya itu lho, tereduksi. (halah).

Lebih kurang seperti itulah kehidupan, kita hanya mencoba dan terus mencoba dengan standar hidup yang kita punyai sendiri dalam membentuk, dan menempatkan kepingan puzzle tersebut agar benar dan sesuai dengan idealitas hidup kita. Semua orang pernah gagal/salah, misalnya gagal dalam dunia percintaan, parahnya lagi gagal nikah *ehhh… pahamilah bahwa semua itu sekedar awal dari menyusun kehidupan kita sendiri, yang tak pernah lepas dengan takdir. Jika ada yang tidak percaya takdir, apa anda pernah memilih di mana dan kapan anda dilahirkan?.

Salah dan gagal itu biasa, tapi bukan untuk dibiasakan. Pokoknya melangkah sajalah, salah langkah itu juga biasa, semakin sering salah semakin tahu bagaimana caranya agar tidak salah. Tugas kita hanya menyusun kepingan-kepingan kenyataan tersebut, semata-mata agar hidup kita lebih mudah untuk diceritakan. Sudah melangkah tinggal pasrah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun