Â
Matematika, sering dianggap sebagai ilmu yang tidak ada keterkaitannya dengan agama, ilmu yang tidak membahas bahkan jadi jaminan surga-neraka, dan yang lebih penting adalah tidak menjadi pitakon kubur, karena tak mungkin nanti munkar nakir tanya "hai kamu, iya kamuuuu. pi er kuadrat rumus apa?"Â
Â
Menurut sudjiwo tedjo, matematika itu ilmu logika, kesepakatan/ijma', dan konsisten. Karena era sekarang ini lagi marak pendekatan cocokologi, maka saya akan mencocok-cocokkan agama dengan matematika. Pokoknya yang penting cocok.
Â
Saya sepakat dengan mas cepi sabre yang pernah bilang bahwa agama itu jalan kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri. Perbedaan kebenaran dan jalan menuju kebenaran harus dipahami terlebih dahulu sebelum beragama. Sederhananya begini kalau dilihat dari matematika, angka sepuluh adalah hasil dari 5+5 (sesuai logika, Â demikian konsep angka 5 dan tanda penjumlahan "+" telah disepakati terlebih dulu, sekaligus harus "konsisten" sampai kiamat). Anggap saja 10 adalah kebenaran, dan 5+5 adalah jalan untuk menuju kebenaran (angka 10).
Â
Selanjutnya, untuk memperoleh angka sepuluh, dalam matematika tidak hanya dengan cara 5+5, tapi bisa dengan jalan 2+8, 6+4, 7+3, berikut cara pengurangan atau perkalian, dan seterusnya, silahkan diqiyaskan sendiri, dan saya jamin sampai kiamat tidak akan selesai orang yang menulis berbagai cara untuk mendapatkan angka sepuluh, belum lagi ditambahi koma, desimal, dan nol yang tak terhingga, ini gegara ada angka nol yang ditemukan di arab sana, dahulu kala.Â
Â
Jika agama dilihat dari hal seperti demikian, yakni jalan menuju kebenaran, maka semua orang akan menyadari bahwa semua berproses untuk menuju kebenaran, dan toleransi akan lebih dari sekedar konsep, tetapi juga pemahaman bahwa semua yang menuju kebenaran adalah benar, meskipun caranya tidak sama dengan kita. Sekali lagi yang benar itu jalan menuju kebenarannya, meskipun tujuannya tidak sesuai dengan konsep kebenaran kita.Â
Â