Mohon tunggu...
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pembelajar tak kunjung pintar. Percaya bahwa kacamata adalah salah satu alat menutupi kebodohan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Si Buta Tuli Sebagai Ayat Tuhan

17 Juli 2015   10:17 Diperbarui: 17 Juli 2015   10:17 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Si buta tuli, tuna netra dan tuna rungu, jika tuli secara otomatis tuna wicara atau bisu. Catatan ini merupakan resensi subjektif dari sebuah buku yang saya baca karya Hellen Keller berjudul Aku Buta dan Tuli Sejak Bayi: Pergulatan Batin Perempuan Tunanetra-tuna rungu yang Menaklukkan dunia judul Asli The World I Live In. diterjemahkan oleh Dita Sylvana, dicetak oleh penerbit Kayla Pustaka tahun 2011.  

Hellen Keller, lahir 27 Juli 1880 di Tuscumbia, sebuah kota kecil di barat laut Alabana, Amerika Serikat. Ia lahir sehat seperti pada umumnya, namun pada umur 19 bulan ia sakit yang menyebabkan indera penglihatan, bicara, dan pendengarannya tidak berfungsi lagi. Kali pertama saya tahu tentang Hellen tahun 2011 gegara nonton film biografinya berjudul the miracle worker yang diproduksi pada tahun 1955, pada tahun itu juga ia meraih academy award. Sedangkan di tahun ini saya baru membaca buku kumpulan esai Hellen. Oh, iya hampir lupa, Mas Tere Liye juga membuat novel Moga Allah disayang Bunda yang terinspirasi dari Hellen Keller.

Di dalam bukunya ia menceritakan tentang bagaimana rasanya melihat dunia yang gelap selalu, bahkan sebelum ia memahami keterbatasannya ia sulit membedakan kapan dia bermimpi dan kapan ia terjaga, baginya mimpi dan jaga adalah sama; gelap. Namun berkat gurunya Anne Sullivan ia mulai menggunakan bahasa, yakni dengan bantuan tangan, meraba segala hal yang bisa di raba di situlah ia mulai memahami sebuah kata, istilah, konsep yang selanjtunya berkembang menjadi intuisi, akal budi, dan iman. ia mengatakan;

“yang kuketahui hanyalah, dunia yang kusaksikan melalui jemariku adalah dunia yang penuh kehidupan, semarak, dan memuaskan. Sentuhan memampukan seorang buta menemukan kepastian-kepastian yang indah, yang terlewatkan oleh orang lain dengan indra peraba yang tak terlatih.”

Saya merasa bahwa Tuhan tengah menertawakan –mengejek lebih tepatnya– kita lewat Hellen, bahwa tanda kebesaran Tuhan itu tidak hanya lewat indra kita yang utuh, tetapi juga hal-hal yang paling kecil sekalipun menjadi tanda kebesaran-Nya; Sentuhan. Hellen berkali-kali berbicara (dalam tanda kutip ya, kan dia bisu.) di dalam bukunya tentang mukjizat tangan, ia hafal betul pembicaraan tentang tangan yang ada di Bibel, seperti Mazmur dan keluaran. Ia juga mengenal baik tentang tokoh shakesphare, Rene Descartes, Diderot, dsb. Sehingga kesimpulan saya bahwa Hellen adalah seorang yang religius, intelektual, dan mempunyai spiritual yang matang lewat perasaan dan intuisinya.

Bagaimanapun, penjelasan yang diberikan oleh Hellen memberikan saya pemahaman yang selama ini kering, yang hanya berbicara tentang sesuatu yang kasat mata dan serba spekulatif, Hellen dapat memastikan sikap dan watak seseorang hanya dengan meraba dan bau. Hal ini bukan berarti berbau mistik dan takhayul belaka, namun lebih pada bagaimana seseorang dapat membaca, mendengar, dan melihat hanya dengan sentuhan tangan dan bau.

Hal yang paling aku kagumi dari Hellen setelah membaca esai-esainya adalah, bahwa ia mempunyai ketegasan mental, keyakinan kuat, kebenaran yang gigih, dan ia benar-benar mampu untuk menyikapi kenyataan yang tidak membuatnya merasa lemah, justru semakin kuat dan percaya diri bahwa apa yang dilakukan olehnya adalah sama yang dilakukan oleh kebanyakan orang; Membaca dan belajar.

Bagaimanapun, saya tetap yakin bahwa Tuhan yang maha segalanya dan maha memberi kasih sayang kepada siapapun dan apapun telah mengingatkan kepada saya, setidaknya jangan terlalu percaya dengan fatamorgana penglihatan (sekedar terlihat baik), pendengaran dan bicara (sekedar terdengar baik), namun ada yang lebih dari sekedar melihat dan mendengar, yakni perasaan, kepekaan, dan kekuatan mental yang tegas. Bukankah kadar iman seseorang tidak bisa diukur jika hanya sekedar dilihat dan didengar?, sebab melihat dan mendengar bukan satu-satunya untuk menilai kebaikan dan keburukan. Itulah hal yang jarang kita miliki, dan kebetulan Hellen kaya dengan hal itu.

Terakhir saya kutipkan puisi Hellen yang berjudul mantra kegelapan/Tak berani kubertanya kenapa kami tak diberi cahaya/Terhempas ke pulau-pulau sepi di samudera tak terukur/.../Rahasia tuhan berdiam di kuil kami/Dalam rahasianya tak berani kumengintip. Hanya ini kutahu: Dengan-nya ada kekuatan, bersamanya ada hikmat, dan hikmatnya meletakkan kegelapan di atas jalan kami. (cetak tebal dari saya).

Inilah puncak kebahagiaan Hellen bagi saya, yakni ia benar-benar tidak pernah protes dengan keterbatasannya, namun segala yang ada di dalam dirinya, dalam keyakinannya adalah sebuah kebaikan yang wajib untuk dikembangkan. Saya jadi ingat pepatah lama yang mengatakan “Nak, sekalipun keluar dari dubur ayam, jika itu telur ambillah.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436 H bagi yang merayakan, yang tidak, semoga dapat kiriman opor dari tetangga J

 

Sumber gambar ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun