Mohon tunggu...
Qowim Musthofa
Qowim Musthofa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pembelajar tak kunjung pintar. Percaya bahwa kacamata adalah salah satu alat menutupi kebodohan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Segitiga Agama Sama Sisi

16 Juli 2015   02:36 Diperbarui: 16 Juli 2015   04:33 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Catatan ini berangkat dari hadits ketika Jibril mendatangi Nabi Muhammad dan para sahabat (dengan bentuk manusia) untuk mengajarkan tentang Iman, Islam dan Ihsan, hadits ini dikenal sebagai hadits Jibril. Menurut saya, ketiga komponen tersebut ibarat segitiga sama sisi yang satu sama lain mempunyai sisi yang sama, sekaligus sudut yang sama. Katakanlah mempunyai panjang sisi 5, 5, dan 5, dan sudut masing-masing 60 derajat.

Setelah berangkat dari hadits tersebut, lalu saya melihat fenomena kekerasan atas nama agama satu dekade terakhir di Indonesia terutama, seperti Syi’ah Sampang, Pembantaian Ahmadiyah di Cikeusik, penyegelan masjid Ahmadiyah, sampai hal-hal paling sepele seperti wajib tutup warung ketika puasa, yang lain masih banyak sekali. (meskipun mungkin di dalamnya terdapat konflik politis).

Keberangkatan dari dua hal tersebut, kesimpulan sementara (hepotesa) yang terasumsikan bagi saya adalah adanya ketidakseimbangan memahami ketiga aspek agama (Iman, Islam, dan Ihsan). Beberapa hal yang harus diperhatikan di sini adalah.

Pertama, Iman, secara normatif percaya kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab suci, Rasul, dan Hari Kiamat, dan Takdir baik/buruk. Ini sisi yang pertama. Sisi yang kedua adalah Islam yang secara normatif pula adalah Membaca syahadat, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, menjalankan puasa, dan beribadah haji di Makkah. Sisi yang kedua adalah Ihsan yang secara teks an-ta’buda ka annaka tarahu, fa inlam yakun fa innahu yaraka (beribadah seolah melihat tuhan, jika tidak bisa, dengan menyadari bahwa tuhan selalu maha melihat.) Kedua sisi yang pertama sudah final, tidak bisa diganggu gugat dan tertutup sekaligus disepakati secara mujma’ ‘alaih oleh berbagai sekte Islam, se-WAHABI dan se-PKI apapun cara Islamnya. Sedangkan sisi Ihsan sebagai sisi yang ketiga bersifat relatif/nisbi, karena apa? Karena menggunakan redaksi ka (seolah-olah), dalam disiplin ilmu balaghah disebut sebagai shigat tasybih (majaz personifikasi). Semua orang mempunyai rasa tersendiri dalam beribadah kepada Tuhannya, tidak bisa diseragamkan dengan satu bentuk.

Kedua, Kenisbian yang terdapat dalam sisi Ihsan menyebabkan berbagai ta’wil untuk menjelaskannya, namun menurut saya an-ta’buda ka annaka tarahu diartikan sebagai ibadah dalam arti luas, yang tidak hanya sebatas shalat dan ritual-ritual tertentu. Segala bentuk perilaku baik yang dilakukan adalah ibadah, sebab nabi pernah mengatakan amal itu tergantung pada niat, di kalangan ulama fuqaha niat itu untuk membedakan (littafriq) antara adat/kebiasaan dan ibadah. Misalnya, memberikan sesuatu kepada orang lain disebut sebagai hadiah adalah adat, namun jika diniati ibadah artinya adalah zakat.

Masih tentang ihsan. Bagi saya ihsan itu berbuat baik kepada sesama. Kenapa? Ya meskipun secara definisi adalah beribadah seolah melihat atau dilihat oleh Tuhan, bukankah kita tidak mungkin berbuat buruk/jahat ketika sedang diperhatikan sesuatu yang lebih tinggi dari kita?, orang tua misalnya, atasan kerja. Saya rasa tidak ada –entah apapun agama dan tradisinya– yang tidak sepakat tentang berbuat baik. Pendeknya tidak ada agama yang mengajarkan tentang keburukan. Lalu kenapa ada kekerasan atas nama agama?. Tentu karena ada relatifitas dalam mendefinisikan berbuat baik. Saya yakin yang melakukan pembantaian ahmadiyah itu karena mereka yakin untuk menjaga akidah Islam, yang melakukan bom bunuh diri juga atas nama jihad yang diyakini nanti akan dijemput oleh 70 bidadari di surga sana. Saya sepakat tentang amar ma’ruf nahi munkar, tapi ada beberapa tahapan yang harus dilakukan, bukan asal kepruk saja, jika asal pukul nanti namanya amar ma’ruf nyambi munkar.

Dengan demikian, Islam sebagai agama dan komunitas (ummah) harus dipahami secara benar ibarat segitiga sama sisi, orang belum bisa dikatakan Islam (selamat;damai;sejahtera) jika mengartikan agama secara formalitas belaka dengan memperbaiki ibadah secara vertika tanpa memerhatikan aspek sosial dengan berbuat ramah kepada sesama. Antara ihsan, islam dan iman harus dilakukan secara bersamaan dan seimbang, tidak tumpang tindih atau malah saling bertentangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun