Mohon tunggu...
Janu Kuki
Janu Kuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ketua RT Tandingan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

UU Desa No.6/Tahun 2014: Keruwetan Kota justru Akan Diperbaiki oleh Desa

25 Maret 2014   01:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:32 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_328282" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]

“…Haruskah kita beranjak ke kota, Yang penuh dengan tanya… Lebih baik di sini, rumah kita sendiri, Segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa, Semuanya ada di sini…. Rumah kita...“

Sepenggal lirik lagu grup band God Bless yang berjudul Rumah Kita memang bertujuan untuk membuat orang desa berpikir ulang saat ingin mencoba peruntungan di kota besar. Benar kata God Bless, di kota memang penuh dengan tanya, penuh dengan ketidakpastian dalam usaha mengubah nasib. Tapi, terlepas dari pesan dan himbauan lagu ini, rasanya bagi orang desa sendiri hidup di desa juga ternyata penuh dengan tanya. Hidup di desa terkesan hanya begitu-begitu saja, ibarat roda kehidupan hidup di desa bagaikan naik komidi puter. Naik komidi puter memang muter ya muter, kadang di atas kadang di bawah, persis seperti roda kehidupan. Tapi kan tidak bergerak maju, hanya muter-muter naik-turun di tempat, nggak kayak naik roller coaster meski jungkir-balik tapi bergerak.

Begitulah kira-kira kehidupan di desa pada umumnya, monoton dan tidak ada geliat. Sedangkan kota selama ini merupakan pusat kemakmuran dan kemajuan. Sehingga meski di kota penuh tanya, orang desa (yang merasa di desa pun juga penuh tanya) tetap beranjak ke kota meskipun tanpa keahlian apa pun. Wajar saja jika kemudian urbanisasi yang disebabkan oleh migrasi penduduk dari desa ke kota menjadi proses alamiah di negeri ini, tak bisa dihindari dan bakal terus berlangsung selama ketimpangan pembangunan antara daerah perkotaan dan pedesaan terus menganga.

Migrasi orang desa ke kota yang hanya bermodal semangat, khayalan indah, dan sama sekali tanpa keahlian apa pun namun nekat beranjak ke kota ternyata hanya sedikit yang menghasilkan cerita indah, yaitu bisa hidup sukses di kota. Sebagian besar dari mereka lebih banyak gagal dan tetap hidup dalam kesulitan di tanah perantauan, malah mungkin hidupnya jadi lebih menderita dibanding sewaktu mereka hidup di desa. Kenyataannya meskipun setelah ke kota malah lebih banyak yang gagal menggapai impian hidup lebih baik, namun orang desa yang nekat bermigrasi ke kota ini dari waktu ke waktu jumlahnya tidak turun dan semakin meningkat. Bahkan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat urbanisasi di Indonesia diproyeksikan akan mencapai 68 persen pada tahun 2025. Untuk beberapa provinsi, terutama provinsi di Jawa dan Bali, tingkat urbanisasinya sudah lebih melambung jauh dari total se-Indonesia. Dampak buruk atas tingginya angka urbanisasi rasanya tak perlu dipaparkan di sini, khawatir membuat orang kota jadi semakin galau dan menolak serbuan kedatangan orang desa. Lagi pula tulisan ini justru mencoba melihat kebalikannya; dampak buruk urbanisasi bagi desa.

Kehidupan di desa yang tanpa geliat dan berlangsung monoton menjadikan desa tidak punya daya tarik bagi penduduknya. Satu per satu penduduk desa pergi ke kota, sepetak demi sepetak sawah ladang milik keluarga yang dipertahankan turun-temurun habis terjual buat modal dan bekal. Desa menjadi sepi. Kepada siapa lagi warisan adat istiadat dan budaya desa bisa diturunkan? Tak ada lagi yang mengemban tanggung jawab melestarikan warisan leluhur berupa seni budaya ciri khas desa, yang notabene adalah budaya bangsa Indonesia.  Sama seperti penduduk desa, lama-lama budaya desa (baca: bagian dari budaya nasional) hilang terkikis. Tak ada yang bersedia bertanggung jawab, tapi semuanya akan berteriak satu kata satu amarah ketika produk budayanya diklaim sebagai hasil karya negara lain.

Memang tidak semua, orang desa pergi ke kota untuk cari pekerjaan. Sebagian orang tua di desa yang berpikiran maju mengirimkan anak-anaknya ke kota untuk mengenyam pendidikan yang lebih maju. Namun tetap saja yang terjadi ketika sang anak tamat sekolah atau kuliah, pulang kampung sebentar lalu kembali ke kota untuk meraih penghasilan yang lebih besar. Ilmu dan pendidikan yang didapat dianggap tidak bisa diterapkan di desa tercinta, karena memang sudah di-setting begitu. Padahal justru itu yang seharusnya membangun peluang kehidupan di desa jadi punya gairah dan menarik. Sebenarnya pemikiran yang demikian di kalangan desa ada benarnya juga, mau diaplikasikan ke mana ilmu anak-anak desa yang telah jauh-jauh ke kota untuk menuntut ilmu jika sarana dan prasarana di desa belum siap. Alhasil, putra-putri terbaik desa pun ikut-ikutan melestarikan budaya urbanisasi. Seharusnya anak-anak desa yang kuliah di kota pulang kampung membangun desa. Bagaimana mau menerapkan ilmu kuliah pertanian, lha sawah ladang sudah dibeli orang kota. Bagaimana lulusan otomotif mau buka bengkel di desa, karena jangankan kendaraan, bahkan jalananpun belum dibangun. Bagaimana sarjana hukum, sarjana ekonomi dan lulusan kreatif tergerak untuk membuka biro jasa di desa, lha warga desa sebagai pasarnya saja pada bercokol di kota. Jadi persoalan urbanisasi bukan semata karena anggapan hidup di kota lebih menjanjikan, kiranya faktor kondisi desalah yang sebenarnya lebih mempengaruhi minat orang desa untuk beranjak ke kota.

Pertengahan Desember 2013, begitu UU Desa no. 6 tahun 2014 disahkan, rasanya bukan hanya menjadi tonggak baru dalam memperbaiki desa, tapi efeknya bisa lebih menakjubkan lagi, yaitu memiliki kemampuan ikut serta memperbaiki keruwetan masalah kota. UU Desa yang dirancang untuk memberikan kekuatan pada desa diharapkan menjadi terobosan revolusioner dalam menjadikan desa mandiri dan berdaya. Selain dari memberikan kekuatan untuk mandiri, dalam UU tersebut juga diatur sumber dana untuk desa. Sumber dana desa yang selama ini ada, yaitu sebagaimana disebutkan dalam pasal 72 UU Desa yang menyatakan bahwa desa berhak memperoleh 10% dari dana perimbangan yang diterima kabupaten kota, yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH), yang setelah dihitung sana-sini maka setiap desa jika dirata-ratakan akan memperoleh sebesar Rp1,4 miliar.

Dengan UU ini, pembangunan negara dimulai dari basis terkecilnya, yaitu desa dan desa memiliki kewenangan untuk itu. Inilah yang akan menjadi proses nyata menerapkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Pemerataan pembangunan menjadi lebih optimis. Bisa saja kemudian akan terjadi persaingan yang positif antar desa-desa di negeri ini, di mana jika itu terjadi maka secara tidak sadar telah berlangsung proses melestarikan warisan desa yang notabene adalah bagian budaya nasional. Desa akan memiliki daya pikat bukan lagi hanya terbatas sebagai obyek wisata orang kota atau sekedar tempat “berlibur ke rumah embah”, sebagaimana yang terjadi selama ini terjadi. Ke depan, dengan perbaikan, semangat dan ketulusan dalam membangun, maka desa akan menjadi daya tarik bagi sebagian kaum urban kota yang sudah kadung cari kesejahteraan di kota dan gagal…

Terakhir, sebagai orang kota, yang merasa kasihan dengan desa-desa di seluruh Indonesia, saya memberikan apresiasi sebesar-besarnya atas perjuangan para wakil rakyat yang telah menciptakan suatu tonggak baru dalam upaya perubahan pembangunan. Malah menurut saya, karena UU Desa ini mencakup sesuatu yang dijiwai dari Pancasila dan UUD 1945, kepengen UU Desa ini disosialisasikan bukan hanya kepada wong ndeso, tapi juga kepada orang-orang kota yang biasanya selalu berpikir ‘nggak bener’ terhadap sesuatu yang berbau desa. UU Desa no. 6 tahun 2014 harusnya menjadi obrolan menakjubkan bagi anak-anak muda kota, saat ngemil di kafe-kafe. Meskipun membahas desa, setidaknya perlu bagi orang kota mengetahui bahwa UU Desa bukanlah suatu cerita kampungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun