Mohon tunggu...
JANUAR DWI PURWANTO
JANUAR DWI PURWANTO Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Adalah seorang ayah dengan tiga orang anak, saat ini berprofesi sebagai PNS. Dengan latar belakang di bidang psikologi dan sebagai HR Profesional saya ingin berbagi sudut pandang dengan pembaca kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Makanan MP-ASI, Lebih Baik Tanpa Rasa Saja

23 Juli 2013   10:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:10 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Urusan makan bagi anak-anak seringkali merepotkan bagi sebagian besar orang tua. Utamanya bagi orang tua yang anaknya tergolong sulit makan. Padahal didukung dengan adanya akses informasi yang begitu luas, seperti televisi, majalah, tabloid dan internet, para orang tua semakin sadar bahwa masalah pemenuhan kebutuhan nutrisi anak tidak bisa diabaikan begitu saja. Semakin terpenuhinya nutrisi bagi seorang anak di awal-awal masa pertumbuhannya, maka semakin besar peluang anak tersebut tumbuh dengan fisik dan kemampuan yang prima. Yang pada gilirannya akan mendukung mereka memenangkan kompetisi saat mereka dewasa kelak. Berbagai cara dilakukan orang tua agar anaknya mau makan, mulai dari mengalihkan perhatian anak dengan bermain saat makan sampai mendesain bentuk makanan sedemikian rupa sehingga terlihat lucu dan menarik untuk dimakan, pokoknya kegiatan makan dibuat sedemikian rupa agar menyenangkan bagi anak. Namun mungkin ada yang perlu dicermati lagi oleh para orang tua yaitu pada tahapan belajar makan. Tahapan ini sedikit banyak akan berkontribusi di saat mereka harus benar-benar memperoleh asupan nutrisi melalui makanan. [caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber gambar : www.rsulin.com"][/caption] Namun sebelumnya perlu sampaikan bahwa saya bukan ahli gizi. Lewat tulisan ini saya hanya ingin berbagi pengalaman tentang anak-anak saya, yang kebetulan punya perilaku pola makan yang agak berbeda. Dan kebetulan keduanya juga memiliki perlakuan yang agak berbeda pada tahapan makan makanan pendamping ASI (MP-ASI). Anak saya yang pertama sulit sekali makannya, tergolong picky eater. Dia cenderung memilih tidak mengkonsumsi nasi dan sayuran, cenderung menyukai makanan yang punya rasa gurih dan berpenampilan menarik, apalagi makanan dari resto cepat saji. Sedangkan anak kedua doyan sekali makannya, dia lebih mudah  mengkonsumsi apa pun rupa makanan yang disajikan oleh ibunya, termasuk sayuran yang menurut pengamatan saya termasuk item makanan yang sering dihindari anak-anak. Jika ditarik ke belakang saat mereka masih pada tahap makan MP-ASI, karena kami sama-sama bekerja, maka si sulung lebih sering kami berikan MP-ASI instan yang banyak dijual di minimarket. MP-ASI instan itu memang banyak sekali variannya, ada untuk anak yang baru belajar makan biasanya bertekstur lembut sampai yang bertekstur kasar. Rasanya juga bervariasi, ada yang dalam etiket dosnya memiliki aneka rasa buah-buahan, kemudian kaldu-kalduan dan sayuran. Pada awalnya si sulung doyan sekali makan MP-ASI instan yang disajikan. Lama kelamaan ketika kami harus mengenalkan makanan keluarga yang sehari-hari dimakan seperti nasi dan lauk pauk dia  mulai menunjukkan penolakan. Bahkan pernah sampai menolak semua jenis makanan, bahkan roti dan biskuit, sehingga praktis si sulung pernah hanya mengkonsumsi susu. Belajar dari pengalaman si sulung, saat si bungsu mulai menginjak tahapan MP-ASI, berdasarkan berbagai referensi dan seminar tumbuh kembang anak yang saya ikuti, saya bersama istri memutuskan untuk menjauhkan si bungsu dari berbagai bentuk makanan instan. Salah satu pendapat pakar yang  kami ikuti adalah pendapat Pak Wied Harry. Menurut beliau dalam salah satu seminar yang kami ikuti, bahwa bayi pada dasarnya menyukai semua makanan. Lidah mereka super sensitif terhadap semua jenis rasa, sehingga usahakan untuk mengenalkan rasa-rasa alami kepada mereka. Ini lah yang tidak mungkin ada pada semua produk-produk MP-ASI instan, sehingga untuk mendapatkannya maka orang tua harus mengolahnya sendiri, dengan cara-cara yang kreatif dan praktis tentunya. Pendapat ini bagi saya masuk akal, karena apabila bayi sudah terpapar rasa-rasa yang "ekstrem" maka dia akan terbiasa dengan rasa tersebut. Maksud saya apabila bayi sudah terbiasa merasakan rasa asin, manis, gurih seperti yang dikonsumsi oleh orang dewasa maka semakin bertambahnya usia dia akan merasakan rasa makanan tersebut sebagai rasa yang biasa-biasa saja. Sehingga tidak heran mereka kelak akan menjadi picky eater. Beda dengan anak yang dibiasakan merasakan rasa-rasa "alami", misalnya merasakan manis dari manisnya buah pepaya atau pisang, atau gurihnya kaldu ayam yang tanpa diberikan penambah rasa apa pun. Bagi kita orang dewasa, rasa-rasa tersebut mungkin tidak terlalu berpengaruh terhadap lidah kita, namun yakin lah anak-anak kita yang baru mengenal makanan merasakannya sebagai rasa makanan yang nikmat. Kembali ke pengalaman mempraktekkan pendapat "MP-ASI sebaiknya dengan diolah sendiri dan dengan bahan-bahan alami" kepada anak kedua, proses mengolah MP-ASI olahan sendiri dengan bahan alami memang terasa sedikit merepotkan. Tiap hari saya dan istri harus sedikit ekstra repot mempersiapkan MP-ASI untuk anak kedua kami. Membuat jus buah, membuat kaldu dan menyimpannya dalam kulkas, lalu menghangatkannya kembali saat menyajikan. Dan waktu itu kami benar-benar menghindarkan menambahkan garam, gula apalagi MSG pada makanan anak kami. Saat ini ketika anak kedua kami sudah memasuki usia pra sekolah kami benar-benar merasakan manfaatnya. Melihatnya doyan makan makanan apa pun yang disajikan sang bunda menjadi pelipur kami di saat lelah. Jadi, saran kami MP-ASI sebaiknya tanpa rasa saja..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun