Inter Milan menggulung Indonesia yang diwakili Liga Selection 3-0, kemarin malam, 24 Mei 2012. Tentu tidak mengherankan, karena dari segi peringkat yang dirilis oleh FIFA, sepakbola Italia termasuk 10 besar dunia, sedangkan Indonesia menempati peringkat 143 dunia (http://www.goal.com). Namun mencermati jalannya pertandingan kemarin, saya salut dengan perjuangan punggawa-punggawa Liga Selection. Mereka bermain trengginas dan sangat semangat di menit-menit awal sehingga menguasai lapangan. Hal itu nampaknya sempat membuat repot Inter Milan, walaupun akhirnya mereka nampak kelelahan sehingga permainannya menjadi tidak terorganisasi. Dan akhirnya justru malah digelontor 3 gol oleh Inter Milan. [caption id="attachment_190524" align="aligncenter" width="600" caption="Andik Vermansyah Menggocek Bola (Sumber Gambar : antaranews.com)"][/caption] Dalam tulisan ini saya tidak sedang mengulas mengenai pertandingan tersebut. Apalagi menganalisis jalannya pertandingan sehingga Liga Selection bisa kalah 3-0 oleh Inter Milan. Karena saya bukan lah seorang pengamat sepakbola yang intens mengamati perkembangan dunia bola. Saya hanya warga negara Indonesia belakangan ini tertarik dengan sepakbola Indonesia yang mulai bergairah. Terus terang sebelum Timnas besutan Alfred Riedl yang begitu fenomenal itu menyita perhatian banyak orang, saya bukan lah orang yang menaruh perhatian khusus terhadap perkembangan bola tanah air. Jadi tepatnya saya ini hanya penikmat bola saja yang kebetulan tertarik dengan persepakbolaan nasional karena gugahan nasionalisme Timnas kita. Nah, melihat pertandingan antara tim Liga Selection kontra Inter Milan itu membuat saya jadi berpikir, mungkin kira-kira begitu juga gaya kita dalam menghadapi penjajah di masa lalu. Dalam pelajaran-pelajaran sejarah semasa SD sampai dengan SMA dulu saya mendapatkan gambaran bahwa para pejuang kita begitu gigihnya menolak penjajahan. Mungkin kita bisa mengingat kisah heroik Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak Dhien dan Pattimura yang tertulis di buku-buku pelajaran sejarah. Betapa para pahlawan nasional ini ngotot mengusir Belanda dari daerah mereka. Belum lagi gambaran yang saya dapatkan bahwa para pejuang kita dulu begitu pantang menyerah, meskipun tidak memiliki persenjataan yang seimbang dengan bangsa Eropa yang tengah menjajah kita. Dengan bambu runcing pun para pejuang kita berani maju ke medan laga, mengusir penjajah. Kisah-kisah heroik itu, dalam pandangan saya, sekaligus menunjukkan pula kelemahan kita sebagai sebuah bangsa. Kita ini bangsa yang begitu gagah berani menerjang setiap bentuk penjajahan, namun rupanya para pahlawan kita itu masih berbekal keberanian namun minim perhitungan. Bahasa Surabayanya, Bonek, alias Bondo Nekad. Dengan segala kekuatan mereka berupaya keras mengusir penjajah. Namun kekuatan itu rupanya tidak tidak cukup kuat mewujudkan keinginan para pahlawan kita itu untuk terlepas dari penjajahan. Saking kerasnya upaya kita mengusir penjajah justru membuat kita kehabisan energi, karena musuh kita agaknya lebih cerdik dan lebih sabar mengumpulkan upaya untuk menaklukkan para pejuang kita. Pola itu nampaknya juga terulang tidak hanya terjadi dalam pertandingan Liga Selection vs Inter Milan kemarin malam, namun dalam pengamatan saya juga terjadi pada pertandingan-pertandingan yang melibatkan Timnas Indonesia. Timnas biasanya menunjukkan semangat dan determinasi yang luar biasa di menit-menit awal, namun di tengah-tengah permainan mulai kelelahan. Akibat kelelahan itu permainan semakin tidak terkoordinasi dan kehilangan greget. Sedangkan lawan terlihat begitu sabar memainkan bola, dan kemudian biasanya dapat memanfaatkan kelelahan pemain kita untuk semakin menguasai lapangan. Pola ini nampaknya selalu berulangkali terjadi, tidak hanya di sepakbola kita saat ini namun sepertinya juga terjadi pada pola perjuangan kita di masa lalu. Hal itu membuat saya berpikir, apa memang ini gaya kita, Indonesia? Bersemangat di awal, kelelahan, kedodoran, lalu dikuasai pihak lawan. Kemudian yang kedua, saya mengamati bahwa setelah mulai didera kelelahan, permainan tim Liga Selection kemarin malam dan juga permainan timnas pada tahun-tahun sebelumnya, mulai melemah dan cenderung kehilangan koordinasi. Pada tahapan ini pemain mulai bekerja secara individual untuk menyarangkan gol di gawang lawan. Sehingga pola serangan menjadi mudah terbaca dan mudah diantisipasi oleh pihak lawan. Begitu juga pola perjuangan pahlawan kita dahulu. Mungkin Pangeran Diponegoro dulu hanya memperjuangkan kemerdekaan tanah Jawa saja. Begitu juga Tuanku Imam Bonjol dan Cut Nyak Dhien berjuang untuk mengusir VOC dari daerahnya masing-masing. Mereka bekerja sendiri-sendiri untuk mencapai suatu tujuan yang kurang lebih sama, yaitu bebas dari penjajahan. Jadi saya punya sedikit simpulan, mungkin kekalahan Tim Liga Selection dan kegagalan para pahlawan dulu mengusir Belanda adalah karena orang-orang yang ada di dalamnya bekerja secara individual dan gerakan-gerakannya relatif kurang terorganisasi. Seandainya dua hal itu dulu disadari sejak awal para pahlawan kita, yaitu yang pertama tidak hanya sekedar bondo nekad saja, tapi juga sedikit bersabar mengamati lawan dan mengatur strategi. Kemudian yang kedua, tidak hanya memikirkan kepentingan daerahnya sendiri namun lebih menonjolkan kolektivitas, saya kira bangsa kita mungkin tidak sampai dijajah 350 tahun lamanya. Dan seandainya dua hal ini juga disadari dan diterapkan oleh para punggawa bola kita maka mungkin permainan bola kita akan terlihat lebih indah dan memberikan hasil yang luar biasa. Namun demikian, saya juga menyimpan optimisme terhadap perkembangan bola tanah air. Karena berdasarkan sejarah perjuangan bangsa kita juga, setelah lama berjuang sendiri-sendiri kemudian kesadaran kolektif sebagai bangsa kita mulai bangkit, ditandai dengan tumbuhnya organisasi-organisasi kebangsaan di awal abad ke 20. Kita mengenal dari buku-buku sejarah bahwa dilandasi kesadaran bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia tidak akan dapat dicapai melalui perjuangan individual, maka lahirnya Boedi Oetomo. Organisasi ini menjadi tonggak bahwa perjuangan hanya dapat berhasil apabila dilakukan bersama-sama, yaitu dengan berorganisasi. Kita mengenalnya dan memperingatinya sekarang sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Mungkin model permainan sepakbola Indonesia juga akan memasuki fase itu. Para pemain muda akan semakin menyadari pentingnya kolektivitas dalam permainan. Mereka akan bermain sebagai tim bukan hanya sebagai individu yang memiliki kemampuan yang menonjol dalam menggocek bola. Karena percuma punya kemampuan menggocek bola tanpa dukungan sepuluh pemain lainnya. Semoga sepakbola Indonesia semakin maju. Dan juga semoga bangsa kita segera menemukan kejayaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H