Cerpen : Januario Gonzaga
Laki-lakimu menderita dengan cara yang mengerikan. Sebenarnya kau sudah tahu sebelumnya. Maka itu kau tidak pernah membiarkan dia berlama-lama menjalani hidup. Dia selalu menyiksa dirinya bila tidak bisa mengingat apa-apa yang bisa dikenang tentang kau. Dia begitu terganggu dengan pikiran yang banyak menumpuk di kepalanya. Lalu dia stres dan melukai dirinya seperti orang mengiris daging buat spagheti. Ketika itu kau, perempuannya datang dan mendapatkan dia sekarat dengan kesakitan yang katanya membahagiakan. Lalu kalian berangkulan. Mendekap satu sama lain menjadi rapat. Terasa dunia ini akan berakhir kalau kalian tidak berlama-lama begitu.
Beberapa hari yang lalu seorang teman datang beritahu bahwa dirinya tidak pantas untuk mencintaimu. Katanya “perempuanmu sudah tahu kalau kau suka menyayat-nyayat dirimu ketika kau hanyut dengan khayalan-khayalan kosong”. Dia berpesan supaya kau menjauhinya. Mungkin dengan itu kau akan melupakannya dan tidak lagi menghabisi kulitmu yang tinggal seberapa itu. Hanya saja kau tetap bersikeras untuk mencintainya. Makanya kau berteriak dengan kencang sampai orang-orang memarahimu. “Bajingan pergi kau. Kau menawarkan jalan keluar yang akan membawaku ke liang kubur. Kami saling mencintai” Kau terus berteriak dengan yakin kalau-kalau perempuanmu masih sayang kau. Lalu saya tetap tenang. Saya seorang teman yang tahu apa yang terbaik buat kamu. Bukan ingin menjebakmu.
Perempuanmu bilang dia tidak sudi mencintai orang yang tidak mengerti bagaimana seharusnya cinta itu. Katanya “Kau jangan memaksakan diri kalau tidak tahu mencintai dengan benar. Lebih baik kau pergi saja dari hidupnya. Atau dia yang pergi dari hidupmu” Kalimat perempuanmu itu ia sembunyikan hanya untuk dirinya sendiri. Dan akupun hanya mendengar dari suara yang dipelan-pelankan dari belahan bibirnya. Lalu kau memarahiku lagi seperti biasanya dengan teriakanmu yang serta-merta mengandung ancaman. Terus-terang saya langsung lompat ketakutan. Biarpun kau suka melukai diri, tetapi jangan di depan saya. Saya tidak tega. Makanya saya memberitahukan kepadamu saat situasinya aman. Mungkin kau bisa berpikir lebih sehat.
Perempuanmu sudah tahu kalau kau suka berbuat begitu. Dia bilang kau mencintainya dengan tulus hanya saja dia tidak mengerti kenapa kau masih menyakiti dirimu sendiri. Dia bilang cinta itu tidak selamanya harus berdua terus. Cinta harus membuka diri unutk saling mengajar tentang kemandirian dan keberanian. Cinta itu bukan seperti matahari yang ditikam gunung-gunung. Cinta bukan juga bulan yang ditodong arakan awan. Cinta harus menjadi sesederhana matahari yang berbisik pada lautan tanpa sepatah kata pun. Makanya saat berpacaran seperti lazimnya orang lain memperlakukan kekasihnya. Tetapi keluh perempuanmu, “Laki-lakiku itu entahkan terlalu mencintaiku atau terlalu membenciku. Aku tidak tahu. Dia suka melukai dirinya untuk tujuannya. Ah bingung”.
Pernah aku mendapatkan kalian sedang bermesraan. Kau begitu dekat dan amat mencintainya. Kau bilang tentang kesetiaan yang dalam dan kuat. Dan aku bahagia sebab kalian sudah tahu caranya. Cara mencintai. Tetapi setelah perempuanmu pulang kau tidak kuat menahan perasaan apa yang muncul dalam dirimu. Mungkin itu yang dinamakan kehilangan. Atau ruang kosong. Kau lalu menyayat-nyayat tubuhmu sendiri. Kau bilang akan mendapatkan kepuasan yang besar bila kulitmu terbuka berputih-putih sambil diikuti darah merah membuncah. Kau bisa menikmati aroma kekasihmu lewat bau darah yang menguap. Lalu kau bayangkan bagaimana menghirup aroma kekasihmu seperti kau menjilat darahmu sendiri yang lengket di badan pisau. Lebih lagi kau mau merasakan bagaimana artinya membenci kekasihmu yang seminggu dua kali baru tidur di tempat kostmu. Makanya kau tak terima segala alasan dia pergi menginggalkanmu. Kau mengisi ruang kosong itu lagi dengan menjilat sampai bersih darahmu dan meludahi kulitmu yang berserakan di lantai dengan diam.
Kau akan berhenti kalau kekasihmu sudah menancap matanya di matamu. Begitu tajam matanya hingga rindumu bertukar menjadi cinta yang begitu dahsyat. Perempuanmu sering menangkap basah kulit-kulit sayatanmu jatuh di lantai kamar kost. Bercak-bercak darah yang masih menempel di kasur, di dinding, di mana-mana. Lalu dia melihat kau sakau dengan aroma darah sambil menyebut-nyebut nama-nama sejenis perempuan. Tapi perempuanmu tidak peduli seperti halnya tidak lagi ngeri melihatmu. Dia bilang “Saya percaya perkataanmu”. Laki-lakinya melakukan itu karena rasa rindunya yang tak tertahankan. Dia mencintaiku dengan caranya sendiri.
Kau selalu menolak perempuanmu pergi. Kau bilang ke dia ”Kalau kau pergi saya hanya mempunyai beberapa menit untuk melihatmu berbalik. Setelah itu saya juga akan pergi untuk selama-lamanya”. Siapa juga yang tidak kasihan. Makanya sampai menit ini kau masih tetap menemaninya. Kau sudah memutuskan untuk setia berada di tempat kostnya tiga kali seminggu. Bahkan seumur hidup kau setia menjaga lelakimu yang melukai tubuhnya.
* * *
Aku tak tahu harus membuka kisahku bagaimana. Sama halnya dengan aku tak tahu mengapa gampang saja aku membuka kulitku yang kenyal menempel pada tungkai-tungkai tulang. Aku sudah beberapa kali mencoba untuk melupakan kebiasaan burukku itu. Aku mau berusaha untuk tidak lagi menikmati kerinduan dengan manyakiti tubuh. Walaupun kuakui kerinduan dan kesakitan sama-sama mengenakkan. Namun tak kusembunyikan lagi bahwa aku makhluk dengan balutan beberapa lembar daging saja. Yang ada hanya tulang yang mulai kentara di seluruh bagian tubuhku. Dan sebentar lagi aku mungkin tidak akan lagi menemukan kekasihku.
Kekasihku orang yang mengerti. Dia selalu memberikan waktunya untukku. Aku mencintainya. Namun dia tak pernah tahu kenapa kulakukan begitu banyak dosa padanya. Saya merasakan misteri keintiman yang paling dalam saat bersamanya. Saya merasa tidak lagi sepi. Saya bebas dari rindu yang membakar. Namun ketika dia pergi saya merasa hampa. Kosong. Makanya hari ini pun tidak heran kalau saya masih terus melukai diri saya. Saya tak bisa hidup kalau tidak tetap berada dalam angan seintim itu. Saya merindukan saat-saat di mana saya membelai tubuhnya. Saat saya mengecup bibir dan lidahnya. Saat dia mesra menelungkupkan kepalanya di dadaku.
Sampai suatu ketika saya merasa telah menjadi penghancur bagi diri sendiri. Saya sadar bahwa bukannya dia yang menjauh dariku tetapi sayalah yang memilih berlari darinya. Saya tak memberinya kesempatan untuk bisa membuat saya sembuh dari kebiasaan buruk ini. Saya mencintai sekaligus membenci. Seperti hari ini dia datang lagi. Saya belum sempat membersihkan noda-noda darah yang menempel di pakaian. Masih banyak. Dia hanya tertawa dan menyindir. “Sampai kapan kau akan seperti itu terus?” Saya menjawab bahwa saya pun tak tahu waktunya. Lalu dia memutuskan untuk tinggal berhari-hari di tempatku. Dia mau mengawasiku. Dia sudah jijik melihat luka-luka lama yang mulai bernanak. Dia tak tahan dengan bau busuk yang terbang keluar dari sisa darah yang belum dibersihkan.
Kami tinggal lama. Dia memberiku segala kenikmatan. Aku mampu hidup kembali. Dan aku merasa inilah kesempatan buatku untuk tidak mearwat tubuhku. Aku harus menghilangkan kebiasaanku itu. Namun dia pergi. Aku bertahan. Aku mengikuti apa yang ia katakan. Ia memberiku sapu tangan dan semua pakaiannya. “Bila kau merindukanku lihatlah pakaian itu“. Begitu katanya saat di hendak pamit. Lalu dengan cepat aku mengelusnya. Merabanya, menciumnya dan mencumbunya. Iya aku benar-benar menikmati aroma tubuh, ambutnya, bibirnya yang masih menempel di sana. Dan aku sakau dengan bayangannya.
Sampai hari di mana aku telah menjadi manusia kembali, dia datang menemuiku. Dia terkaget-kaget melihat lantai kamar yang bersih. Tidak ada lagi bercak darah. Kulit tubuhku pun sudah tidak ada. Dia mengecek kotak sampah. Pisau dapur diambilnya lalu dicium kalau-kalau masih ada amis darah. Tidak ada. Hanya bau luka tubuhku masih menusuk hidung. Dia tidak merasa jijik. Bahkan dia begitu mencintaiku, memelukku, menciumku, mendekapku dalam dan hangat. Lalu kami tertawa bahagia.
Dia pergi lagi setelah meninggalkan beberapa pakaiannya. Aroma di tubuhnya persis seperti yang ada di lembaran pakaian itu. Aku menciumnya saat dia hendak pulang. Kemudian aku terkejut ketika rasa bosan mendadak merasuk tubuhku. Aku rindu pada sesuatu yang tak dapat kubahasakan. Aku mencari pisau dapur dengan tangan gemetar. Kepalaku guncang saat aku berlari ke sana kemari. Tak hentinya bibirku berucap sederetan nama. Aku ambil pisau yang putih bersih. Mendekatkannya pada kulitku lalu mengiris perlahan bagian dalam lenganku. Darah mengalir. Kulit terkelupas. Aku meringis kesakitan. Aku menangis kecil lalu tertawa. Aku puas sbab bisa mencintai perempuanku dengan begitu dekat. Aku merasa lebih dekat dari pakaiannya yang tergeletak persis di mulut dan hidungku.
Dia datang lagi dan tersenyum ketika melihat lantai yang belum kubersihkan itu penuh dengan bercak darah. Potongan kulitku jatuh di atas pakaiannya meninggalkan bercak darah. Dia tertawa dan merajukku. Lalu kami mendekap, bermesraan dan lama sekali. Dia menitipkan lagi pakaiannya. Katanya dia akan datang esok pagi sebelum aroma wangi pakaiannya habis. Sebab tadi dia mengira bau parfum yang sama ditubuhnya sudah tidak tercium lagi pada pakaiannya. Maka dia membawakan lagi yang lebih harum. Dan dia akan menggantinya setiap pagi ketika dia datang. Esoknya dia datang. Mulutnya menyunggingkan sebuah senyum. Aku masih tertidur dengan pakaian yang menutup mukaku. Dia lalu mengangkat pakaiannya. Bau parfum sudah hilang. Hanya beberapa yang masih tercium. Saat pakaiannya diangkat hidungku sudah tidak ada. Mulutku mengelurkan darah. Dia memelukku erat. Aku bangun tanpa bisa mencium aroma yang menguap dari tubuhnya.
Komunitas Sastra Seminari Tinggi St. Mikhael-Penfui Kupang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H