Mohon tunggu...
Januariansyah Arfaizar
Januariansyah Arfaizar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STAI Yogyakarta - Peneliti PS2PM Yogyakarta - Mahasiswa HES Prodi Hukum Islam Program Doktor FIAI UII

Bermanfaat dan Memberikan Manfaat

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Dari Minyak Tanah ke LPG, Kini Apa Lagi?

7 Februari 2025   06:00 Diperbarui: 6 Februari 2025   23:54 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Minyak Tanah dan Gas 3 Kg (Dokumen Khusus)

Sejak tahun 2007, pemerintah meluncurkan program konversi minyak tanah ke gas elpiji (LPG) sebagai bagian dari strategi nasional dalam mengurangi beban subsidi bahan bakar minyak (BBM). Saat itu, minyak tanah menjadi bahan bakar utama yang digunakan oleh masyarakat, terutama di kalangan rumah tangga dan usaha kecil. Namun, subsidi minyak tanah yang terus membengkak membuat pemerintah mencari alternatif yang lebih efisien dan berkelanjutan.

Sebagai solusinya, program konversi ini dilakukan dengan mendistribusikan paket perdana LPG 3 kg beserta perlengkapannya, kompor, regulator, dan selang, secara gratis kepada masyarakat. Harapannya, kebijakan ini tidak hanya mengurangi ketergantungan terhadap minyak tanah tetapi juga menekan potensi penyalahgunaan subsidi yang sering terjadi. Selain itu, dengan beralih ke LPG, pemerintah dapat menghemat anggaran subsidi yang bisa dialihkan ke sektor lain yang lebih mendesak, seperti pendidikan dan kesehatan.

Namun kini, setelah hampir dua dekade berjalan, masyarakat kembali dihadapkan pada persoalan kelangkaan LPG 3 kg. Di berbagai daerah, tabung gas melon ini semakin sulit didapatkan. Kalaupun tersedia, harganya melambung jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Fenomena ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: apakah akan ada peralihan bahan bakar lagi? Jika iya, ke arah mana kebijakan energi ini akan bergerak?

LPG 3 Kg: Murah di Atas Kertas, Sulit di Lapangan

Sejak awal, LPG 3 kg memang diperuntukkan bagi rumah tangga miskin dan usaha mikro sebagai pengganti minyak tanah bersubsidi. Namun, dalam praktiknya, penggunaan gas melon ini tidak terbatas pada kelompok tersebut. Banyak rumah tangga menengah dan pelaku usaha yang juga bergantung pada LPG 3 kg karena harganya yang lebih terjangkau dibandingkan LPG non-subsidi.

Ketidaktepatan sasaran inilah yang sering menjadi alasan pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap distribusi LPG 3 kg. Pemerintah beberapa kali mengusulkan kebijakan pembatasan pembelian dengan sistem registrasi, namun kebijakan tersebut tidak selalu berjalan mulus di lapangan.

Kini, dengan kelangkaan yang semakin meluas, masyarakat mulai cemas. Jika LPG 3 kg tidak lagi tersedia secara cukup, lalu apa alternatif yang disiapkan? Apakah ada bahan bakar baru yang lebih efisien dan ramah lingkungan?

Arah Kebijakan Energi: Antara Kebutuhan dan Kepentingan

Peralihan energi bukan sekadar soal mengganti satu bahan bakar dengan bahan bakar lain, tetapi juga menyangkut keberlangsungan ekonomi masyarakat. Jika nantinya LPG 3 kg benar-benar langka atau bahkan dihapus, masyarakat membutuhkan solusi yang lebih jelas dan konkret.

Beberapa opsi mulai diperbincangkan, seperti penggunaan kompor listrik yang kini semakin dikampanyekan. Namun, tidak semua daerah memiliki infrastruktur listrik yang memadai untuk mendukung peralihan ini. Selain itu, daya listrik rumah tangga di pedesaan umumnya masih terbatas, sehingga penggunaan kompor listrik justru bisa menjadi beban baru bagi mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun