Belakangan ini, media sosial diramaikan oleh unggahan yang mengusik banyak orang: "Fenomena apa ini... Jualan susah, harga barang pada naik, PHK di mana-mana. Tapi, tiket konser habis, boneka Labubu antri, I Phone 16 open PO. Yang punya ilmu ekonomi tolong jelasin..." Kalimat ini mencerminkan keresahan banyak orang yang melihat realitas ekonomi yang makin berat, namun di saat yang sama, mereka menyaksikan antusiasme belanja yang seakan tak terpengaruh kondisi sulit. Lantas, apa sebenarnya yang terjadi?
Tren ini diperkuat oleh laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dirilis di kumparan, menunjukkan bahwa utang masyarakat Indonesia di layanan buy now, pay later (BNPL) atau pay later mencapai angka yang mengejutkan: Rp 28,05 triliun per September 2024.
Angka tersebut mengalami lonjakan dibandingkan Agustus, yang baru mencapai Rp 26,37 triliun. Ini artinya, dalam waktu sebulan saja, ada peningkatan yang signifikan pada penggunaan layanan ini. Kenyataan ini mengindikasikan betapa pay later semakin diminati sebagai alternatif "mudah" dalam memenuhi keinginan konsumen.
Dari total utang tersebut, sekitar Rp 8,24 triliun disumbang oleh perusahaan pembiayaan yang menawarkan BNPL, yang angka pertumbuhannya secara tahunan mencapai 103,4 persen.Â
Sementara itu, sektor perbankan juga mengalami pertumbuhan serupa. Kredit BNPL di perbankan pada September 2024 naik 46,42 persen dari tahun sebelumnya, mencapai Rp 19,81 triliun dengan hampir 20 juta rekening aktif.
Di balik kemudahan ini, OJK rupanya melihat adanya potensi risiko besar. Kepala Eksekutif Pengawasan Lembaga Pembiayaan OJK, Agusman, menyebutkan bahwa pihaknya tengah menyiapkan regulasi yang lebih ketat untuk layanan BNPL.Â
Aturan tersebut dirancang untuk memastikan perlindungan konsumen, terutama terkait keamanan data pribadi, rekam jejak audit, dan manajemen risiko. Hal ini penting karena, meski menawarkan solusi praktis, BNPL juga membawa risiko utang yang kerap kali tidak disadari oleh penggunanya.
Yang menjadi perhatian di sini adalah ironi dari perilaku belanja masyarakat. Di satu sisi, keluhan tentang harga-harga yang melambung dan sulitnya lapangan pekerjaan terus terdengar. Di sisi lain, konsumen tetap ingin memenuhi gaya hidup mereka, seolah-olah pay later memberi mereka akses tak terbatas ke berbagai barang dan hiburan yang sebelumnya mungkin terasa di luar jangkauan.Â
Sistem ini menciptakan ilusi kemudahan yang sebenarnya sangat sementara. Meskipun bisa menikmati fasilitas sekarang, pada akhirnya tagihan akan jatuh tempo dan harus dibayar.
Fenomena ini seolah menjadi peringatan akan pentingnya kesadaran finansial di tengah masyarakat. Keputusan untuk menggunakan pay later haruslah dilandasi dengan perencanaan dan pengelolaan keuangan yang baik. Jika tidak, utang yang tampak "ringan" ini bisa menumpuk dan berpotensi menjadi beban besar di kemudian hari.
Kita berada di era di mana kepemilikan barang sering kali dianggap penting, bahkan menjadi tolak ukur prestise sosial. Namun, gaya hidup seperti ini perlu dibatasi, terutama bila mengandalkan utang. Di tengah situasi ekonomi yang tidak pasti, berutang tanpa perhitungan jelas bukanlah langkah bijak.