Saya pernah membaca artikel di Natgeo Indonesia, dimana isinya sebuah tulisan feature yang mengisahkan Raksasa Muda, Indonesia. Berlatar 5 tahun usia kemerdekaan, carut marut negeri kita tercinta terlihat dimana-mana. Namun bangsa kita berpacu dengan waktu meperbaiki segala sendi kehidupannya, karena waktu semakin mendesak Indonesia. “Apakah dunia akan memberikan kami waktu barang lima tahun?” ini pertanyaan sang penulis artikel yang mengelitik banak saya.
Majunya Jokowi sebagai calon RI 1 rupanya menimbulkan banyak pro dan kontra, tak terkecuali dari warga Kompasiana. Sebenarnya saya sudah menahan untuk tidak menulis tentang naiknya “Wong Ndeso ini” menjadi calon RI 1, karena saya masih harus mengerjakan skripsi saya (maklum mahasiswa tua heheheheh). Namun apa daya, Jokowi di mata saya adalah pilihan terbaik dari calon RI 1 yang ada, dan melihat dahsyatnya gempuran pada “Wong Ndeso ini”, saya jadi gatel untuk ikut menulis.
Terlepas dari Pro dan Kontra, terhadap keputusan Lenteng Agung yang memberi Mandat pada wong Solo ini untuk maju menjadi calon Presiden RI dari PDIP, rasanya memang mengejutkan jika Jokowi maju menjadi RI 1. Belum separuh masa abdinya pada ibu kota, pecinta musik metal ini sudah mau maju menjadi RI 1. Lalu saya menimbang, dan merenungkan, apa jadinya Jakarta tanpa Jokowi?, dan apa jadinya Indonesia jika orang dengan perawakan kurus ini tidak segera menjadi Presiden?
Baiklah, Jakarta wajar menagih janji pada Jokowi agar menuntaskan masa jabatanya, tapi saya tak rela jika orang ini harus di peram terlebih dahulu di sana. Jujur saya iri dengan Jakarta karena mendapat pemimpin seperti ini. Rasanya tak adil jika Jokowi dengan gaya kepemimpinannya yang unik hanya “dinikmati” ibu kota. Katakanlah saya seorang yang sering disebut sebagian orang “Jokowi cebokers”. Katakanlah saya orang yang buta karena silaunya blow up media, tapi pertanyaanya bagaimana jika tidak hanya saya yang beranggapan seperti ini? Bagaimana jika sebagaian besar rakyat Indonesia mempunyai penilaian yang sama dengan saya?, bagaimana jika lebih banyak “Jokowi cebokers”?. Dan yang terakhir, bagaimana jika Jokowi benar-benar orang yang tepat memimpin negri ini? Saya rasa pertanyaan itu tidak saya ajukan pada orang atau golongan yang antipati atau apriori pada Jokowi, karena apapun argument yang muncul Jokowi selalu salah dimata golongan seperti ini.
“Jokowi, Indonesia tidak akan memberimu waktu”, sama dengan pembuka tulisan ini dunia tak akan memberi kita waktu untuk mengejarnya. Begitu juga dengan Indonesia, tak akan meberi waktu pada Jokowi untuk menunda pencalonan dirinya maju menjadi presiden. Dunia terus berlari, dan melihat kondisi Indonesia saat ini. Saya rasa tak ada waktu lagi bagi kita untuk mengatakan “Pak Jokowi, tuntaskan dulu pengabdian anda pada ibu kota”. Sementara lima tahun kedepan kita sia-sia kan orang berparas Ndeso ini, maksud saya adalah secepat mungkin dan sebisa mungkin Jokowi harusnya memimpin negri ini. Tidak ada kata di peram, di matangkan, menuggu, dan sebangsanya. Karena dunia tak mau menunggu, jika Indonesia ingin mengejar dunia, maksimalkan semua potensi yang ada termasuk potensi pemimpinya.
Saya bukan warga Jakarta, ataupun Solo, jadi saya tidak tahu pasti seberprestasi apa Jokowi. Namun media massa tak akan memblow up sesuatu tanpa ada sebab, ibaratnya tidak akan ada semut tanpa gula. Katakana semua pemberitaan adalah pencitraan, katakana semua prestasi Jokowi yang di publikasikan media adalah agenda setting, dari perss yang kompak mendukung Jokowi dan menggadaikan idealisme jurnalistiknya. Tapi bagaimana, dengan media asing yang memuat prestasinya? Bagaimana dengan rombongan wartawan asing yang datang ke balai kota hanya untuk mewawancarai Jokowi?, mereka mnganggap ada yang menarik pada pemilu Indonesia kali ini, hingga mereka rela datang, beratus, bahkan ribuan kilo meter jauhnya hanya untuk berbincang dengan Jokowi.
Saya rasa tidak akan ada habisnya jika berbicara tentang “fenomena Jokowi”, selalu ada pembenaran, pembelaan, hujatan, debat kusir yang tiada akhirnya. Memang benar kita tidak tahu apakah gaya “blusukanya” akan cocok untuk Indonesia yang begitu luas membentang ribuan kilo meter jaraknya. Atau jangan-jangan Jokowi akan sibuk dengan kabinetnya, tarik ulur kepentingan partainya, atau bahkan tekanan negara asing? Hingga tak sempat lagi belusukan. Saya ingat ada ungkapan yang mengatakan bahwa hidup adalah perjudian, dan menurut saya Jokowi adalah pertaruhan yang paling masuk akal, dan layak di coba dari pada calon lain. Tanpa maksud merendahkan tokoh lain, ibarat poker Jokowi kartu bagus saya kurang tahu apa istilahnya, apakah full house, atau apalah.
Indonesia tak akan menunggu mu Jokowi, segera selamatkan negri ini sebelum karam lebih dalam, sebelum rusak lebih parah, dan sebelum tertinggal lebih jauh oleh kencangnya lari dunia. Jika kelak saat menjabat RI 1 mantan wali kota Solo ini berubah, itu adalah bagian dari pertaruhan. Seperti yang saya katakan hidup adalah pertaruhan terdiri dari beribu bahkan jutaan kemungkinan tak terduga, begitu juga dengan Jokowi, dan Pilpres 2014 nanti. Mari bertaruh dan lihat hasilnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H