Ketika PLN dipimpin oleh DAHLAN ISKAN sebagai Dirut, dicanangkan sebuah kebijakan yang cenderung politis namun dikemas seakan-akan berkeadilan sosial, yang harus dijalankan oleh seluruh jajaran PLN, namanya “sambungan sejuta pelanggan”. Siapapun dan dimanapun di wilayah Republik Indonesia jika ada yang meminta sambungan listrik harus dipenuhi oleh PLN. Sementara kondisi saat itu pembangkit-pembangkit PLN tidak memiliki cadangan daya yang cukup dan jaringan listrik dengan peralatan bantunya (Trafo,Pengaman) masih memerlukan peningkatan kapasitas (up grade) atau penambahan.
Akibat kebijakan tersebut terjadi kekacauan di bidang perencanaan karena Unit-Unit PLN menjadi kesulitan menyusun kebutuhan anggaran tahunan, mengingat penambahan pelanggan tergantung kepada permintaan yang ada dan seluruhnya harus dipenuhi. Lebih dari 90% sambungan baru yang terpasang saat itu merupakan pelanggan rumah tangga, yang secara komersial merugikan PLN karena yang terjadi adalah peningkatan subsidi listrik. Seharusnya penyambungan baru dilakukan secara selektif antara kelompok pelanggan yang harus di subsidi dan yang memberikan keuntungan agar terjadi subsidi silang. PLN sebelumnya memiliki kebijakan Demand side management, artinya mengendalikan pertumbuhan pelanggan atau sambungan baru dengan mempertimbangkan kondisi pembangkit, jaringan dan peralatan lain serta keuangan dan SDM yang ada.
Jenis Pembangkit yang secara teknis dapat dengan segera dioperasikan untuk memenuhi sambungan baru yang tersebar di seluruh Indonesia, adalah Diesel. Dengan pertimbangan bahwa permasalahan kekurangan daya ini hanya bersifat temporer dan kebijakan Nasional untuk menekan penggunaan Pembangkit berbahan bakar minyak, maka PLN tidak perlu membeli pembangkit diesel, tetapi cukup melakukan sewa kepada pihak swasta. Pada periode DAHLAN ISKAN yang dilanjutkan NUR PAMUDJI sebagai dirut PLN terjadi banjir Diesel bekas di Indonesia dari negara-negara tetangga. China yang telah melarang penggunaan Diesel dioperasikan sebagai Pembangkit listrik karena pertimbangan efisiensi dan isu lingkungan, merupakan pemasok pembangkit diesel terbesar. Pembangkit-pembangkit diesel tersebut disewa oleh PLN melalui Unit-Unitnya dari Pihak ketiga (Swasta Nasional). Secara teknis, pemakaian listrik dalam sebuah sistem kelistrikan terbagi dua. Pertama, pemakaian pada saat beban dasar dan yang kedua, pemakaian listrik pada saat beban puncak atau pemakaian listrik maksimal karena seluruh pelanggan membutuhkan secara bersamaan, yang secara umum untuk Indonesia, beban puncak ini terjadi antara pukul 18.00 – 22.00.
Dengan kondisi di atas, maka kebutuhan listrik yang pada awalnya sebagai contoh 100 MWATT (beban dasar), pada periode beban puncak jam 18.00 – 22.00 akan melonjak menjadi sekitar 140 MWATT atau secara tiba-tiba naik 40 % sehingga perlu ada Pembangkit tambahan yang dihidupkan, dan konsumsi listrik ini, turun kembali setelah jam 22.00 dan kembali ke beban dasar. Demikian siklus konsumsi listrik secara umum di Indonesia (tidak berlaku pada saat hari libur).Dari karakteristik kondisi kelistrikan diatas, maka untuk melayani bagian terbesar beban dasar dilakukan oleh PLTU atau PLTP (Panas bumi) karena tidak mampu beroperasi mengikuti perubahan beban listrik, sedangkan sebagian kecil dari beban dasar dan seluruh beban puncak akan di-supply dari PLTA, PLTG dan PLTD. Dengan bertambahnya konsumen rumah tangga secara signifikan, maka terjadi peningkatan pemakaian listrik pada periode beban puncak, artinya diperlukan penambahan pembangkit baru untuk beroperasi di beban puncak (PLTA, PLTG atau PLTD), dan pilihan yang paling pragmatis adalah penambahan PLTD melalui sewa. Pilihan ini didasari banyaknya diesel baru/ bekas dengan harga murah, [caption caption="Surat Perjanjian Sewa Diesel di Sulawesi antara PT. PLN (Persero) dengan Perusahaan Swasta | Dokpri "][/caption]pemasangannya sangat cepat (termasuk shipment sekitar 3 - 4 bulan). Sebenarnya kebijakan PLN ini bertentangan dengan kebijakan pemerintah saat itu dalam menekan konsumsi BBM. Kebijakan sewa diesel PLN bahkan mengakibatkan peningkatan konsumsi BBM di dalam negeri oleh swasta untuk kebutuhan PLN, sehingga subsidi sektor listrik oleh Negara pernah menembus angka Rp.100 Trilliun per tahun. Karena kebanyakan Diesel sewa tersebut beroperasi hanya pada saat beban puncak sekitar 4 jam per hari, maka dengan kondisi tersebut dikatakan Diesel beroperasi dengan Capacity Factor (CF) = 4 Jam /24 Jam atau sekitar 17 %, tetapi dalam kontrak sewa Diesel biasanya disebutkan disebutkan “Harga listrik yang harus dibayar PLN kepada Pemilik mesin (tidak termasuk BBM) misalkan Rp 350,-/KWH (tiap daerah berbeda-beda), dengan CF = 80%” sebagai ilustrasi, apabila PLN menyewa Diesel berkapasitas 10 MWATT dengan CF = 80% (sesuai kontrak) maka jumlah yang harus dibayarkan oleh PLN = 10.000 KW x 30 Hari x 24 Jam x 0,8(CF) x Rp.350; = Rp.2,52 Milliar (tidak termasuk BBM).
Apabila sistem kelistrikan setempat ternyata CF = 17 %, maka jumlah yang seharusnya dibayarkan PLN = 10.000 KWH x 30Hari x 24 Jam x 0,17(CF) x Rp.350; = Rp.428,4 Juta. Dari kedua perhitungan di atas terdapat selisih pembayaran sekitar Rp. 2 Milliar untuk setiap sewa Diesel 10 MWATT/Bulan. Bisnis ini sangat menggiurkan, sistem sewa Diesel yang seharusnya bersifat temporer untuk kondisi emergency dan periodenya terbatas maksimal 3 tahun, kemudian boleh menggunakan mesin bekas, sehingga bisnis ini sangat menarik. Di beberapa daerah di Indonesia Timur bahkan ada sewa Diesel yang terus berkelanjutan hingga 10 tahun. Akibat nyaman dengan sewa Diesel, Unit-Unit PLN yang memiliki Diesel tidak lagi melakukan pemeliharaan dan perawatan Diesel secara rutin, bahkan tidak lagi mengoperasikan Diesel yang ada. Kondisi ini membuat mesin Diesel PLN makin rusak, biaya pegawai membengkak, biaya sewa juga naik, penggunaan BBM bertambah besar, yang pada akhirnya membuat PLN semakin tidak efisien dan rugi besar. Sewa PLTD ke PLN Nias yang diputus sepihak oleh pemilik PLTD seperti yang terjadi di Nias, diprediksi akan terjadi pula di daerah lain, khususnya daerah Indonesia Timur.
Termasuk sebagian Kalimantan Tengah dan Selatan. Masalahnya jelas, pemilik PLTD yang disewa PLN sangat terganggu dengan kebijakan baru Dirut PLN Sofyan Basyir untuk melakukan efisiensi dengan hanya membayar sewa sebanyak yang terpakai (CF). Negosiasi atas diktum kontrak pun ditolak oleh pemilik PLTD, yang terjadi malah pemilik PLTD sudah menyandera PLN karena secara de facto sudah menguasai sistem kelistrikan pulau-pulau dengan PLTD sewanya.
Kasus Nias hanyalah merupakan peringatan dini untuk PLN, bahwa jika pemilik PLTD memutus kontrak sepihak maka sebagian besar daerah pinggiran Indonesia akan gelap gulita. PLN harus menyiapkan terlebih dahulu infrastruktur kelistrikan sebelum mengakhiri sewa PLTD. Jajaran PLN harus kompak mengamankan kebijakan korporasi dalam penghematan uang Negara yang disalurkan via PLN melalui subsidi. Pemilik PLTD sewa yang sebenarnya adalah pengusaha yang juga punya kaitan dengan oknum pejabat/pensiunan PLN sehingga mereka tahu betul “dapurnya” PLN. Kolaborasi pengusaha dengan pengusaha-lah yang sebenarnya sedang terjadi.
Sebagai warga negara khususnya kepada yang bergerak di bisnis kelistrikan wajib mendukung kebijakan apapun yang dilakukan PLN sepanjang untuk efisiensi dan penghematan. Masyarakat dan Negara tidak boleh kalah melawan kartel sewa PLTD yang men-sabotase objek vital negara (listrik).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H