Mohon tunggu...
ir. Janto Dearmando, mh
ir. Janto Dearmando, mh Mohon Tunggu... -

Aktif Di Perkumpulan Konstruksi Kelistrikan Indonesia (AKKLINDO) dan Konfederasi Jasa Konstruksi (KA-JAKON)

Selanjutnya

Tutup

Money

SBU DJK, Malapetaka Baru Kontraktor Listrik

20 Maret 2016   23:29 Diperbarui: 20 Maret 2016   23:46 8231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Menjelang musim lelang tahun ini, Badan Usaha (BU) bidang ketenagalistrikan harus menyiapkan tambahan beban investasi di bidang perizinan. BU harus melengkapi begitu banyak dokumen dan perizinan sebagai syarat dapat ikut lelang, salah satunya adalah Sertifikat Badan Usaha (SBU) dan sertifikat Keahlian (SKA)/Keterampilan (SKT). Kedua sertifikat tersebut diperlukan untuk mendapatkan Ijin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK). Sebelum diberlakukannya UU Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan dan Peraturan Pemerintah Nomor : 62 Tahun 2012 Tentang Usaha Penunjang Tenaga Listrik, kewenangan penerbitan SBU dan SKA/SKT tersebut ada pada Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi.

Penerbitan SBU dan SKA/SKT oleh LPJK yang difasilitasi oleh asosiasi bidang ketenagalistrikan, selama ini berjalan cukup efektif karena tidak membutuhkan biaya yang besar dan tidak perlu waktu lama, namun tingkat kompetensinya tetap dapat dipertanggungjawabkan secara keteknikan, walaupun tetap saja masih jauh dari sempurna.

Dengan diterbitkan dan diberlakukannyanya Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor : 35 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Perizinan Usaha Ketenagalistrikan dan Permen ESDM Nomor : 05 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Akreditasi Dan Sertifikasi Ketenagalistrikan serta Permen Nomor : 28 Tahun 2014 Tentang Kualifikasi Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik, maka penerbitan SBU, Sertifikat Kompetensi/SKTTK (pengganti SKA/SKT) menjadi kewenangan dari Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU) dan Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) yang diakreditasi oleh Dirjen Ketenagalistrikan (DJK). Anehnya dalam berbagai peraturan perundangan-undangan terkait ketenagalistrikan yang diterbitkan, tidak satupun yang menyatakan SBU dan SKA/SKT versi LPJK tidak berlaku.

LSBU dan LSK yang diakreditasi DJK adalah Badan Hukum yang mayoritas berbentuk Perseroan Terbatas (PT), dimana orientasinya adalah bisnis dan profit, tanpa harus mempunyai fungsi sosial maupun tanggung jawab pembinaan. Berbeda dengan LPJK yang merupakan sebuah lembaga semi pemerintah yang juga mewakili kelompok pengusaha, ahli dan perguruan Tinggi, yang tidak berorientasi bisnis dan profit, akan tetapi lebih bertanggung jawab kepada pembinaan di sektor jasa konstruksi termasuk bidang ketenagalistrikan. Pada umumnya LSBU dan LSK dilahirkan oleh asosiasi perusahaan atau asosiasi profesi di bidang ketenagalistrikan yang bernaung di LPJK.

Tidaklah mengherankan jika sekarang proses migrasi dari SBU dan SKA/SKT versi LPJK ke SBU dan SKTTK versi DJK berjalan tersendat-sendat dan tidak bisa maksimal. Harus diakui yang menjadi masalah utamanya adalah ketidaksiapan Institusi DJK secara infrastruktur. Sosialisasi atas perubahan rezim sertifikat ini hanya terjadi di tingkat elit asosiasi tanpa menyentuh langsung kepada BU yang menjadi objek. Ketidaksiapan DJK juga mengakibatkan LSBU dan LSK tidak bisa bekerja maksimal dalam menerbitkan sertifikat. Belum lagi banyaknya ketentuan dalam Permen ESDM yang tidak ramah aplikasi, sehingga pejabat DJK harus disibukkan membuat turunan aturan-aturan yang kadang justru membingungkan.

Bagi BU yang menjadi masalah adalah tidak jelasnya aturan, waktu penerbitan yang lama, dan biaya yang sangat mahal. Khusus terhadap biaya, jika dibandingkan dengan biaya sertifikat dengan kualifikasi dan kompetensi yang sama terbitan LPJK, maka sertifikat terbitan versi DJK, bisa lebih mahal 400 persen. Besarnya biaya yang ditetapkan oleh lembaga sertifikasi binaan DJK tersebut seharusnya bisa dijelaskan kepada publik agar akuntabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan kondisi seperti ini, maka tujuan Kementerian ESDM untuk mempermudah dan mempermurah biaya perizinan serta meningkatkan kompetensi BU ketenagalistrikan, justru sebaliknya, menjadi inefisiensi dan ekonomi biaya tinggi bagi BU.

Pada lelang tahun 2016, baik di Pemerintah, BUMN, BUMD maupun swasta nasional sudah mensyaratkan digunakannya SKA dan SKTTK produk LSBU dan LSK. Padahal, hingga saat ini baru sebagaian kecil BU yang bermigrasi ke versi DJK. Dengan kondisi seperti, tidak akan dapat dihindarkan “bermainnya” mafia lelang memanfaatkan para LSBU dan LSK, bahkan mungkin juga memanfaatkan oknum-oknum di DJK sendiri, dengan mendorong pengguna jasa, baik pemerintah maupun BUMN agar dalam lelang, hanya menggunakan SBU dan SKTTK versi DJK. Padahal tidak tertutup kemungkinan produk dari LSBU dan LSK nya sendiri sudah dimonopoli oleh mafia lelang. Indikasi adanya permainan sudah mulai terlihat dalam beberapa lelang di PT. PLN (Persero).

Dalam menjamin agar terjadinya lelang yang fair dan mendapatkan pemenang lelang degan harga termurah dan komptensi yang memenuhi syarat, maka pemerintah harus menyatakan berlaku sertifikat-sertifikat baik yang diterbitkan oleh LPJK maupun DJK melalui LSBU dan LSK, paling tidak pada lelang tahun 2016 yang sedang berjalan.

Untuk menghindari adanya sengketa hukum baik antara pengguna jasa dengan penyedia jasa maupun antar sesama pengguna jasa, maka kedua jenis sertifikat tersebut sebaiknya diberlakukan saja, karena hingga saat inipun tidak ada ketegasan pemerintah tentang sertifikat mana yang berlaku. LPJK yang dibawah kordinasi Kementerian PU-PR hingga saat ini masih tetap menerbitkan SBU dan SKA/SKT bidang ketenagalistrikan, demikian juga LSBU dan LSK yang dibawah kordinasi Kemen ESDM.

Revisi Permen ESDM Nomor : 28 Tahun 2014 Kualifikasi Usaha Jasa Penunjang Tenaga Listrik harus dilakukan segera, khususnya pada pengurangan komposisi dan jumlah Penanggung Jawab Teknik (PJT) dan tenaga Teknik (TT) BU. Banyaknya PJT dan TT adalah salah satu faktor yang membuat biaya penerbitan SBU menjadi membengkak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun