Oleh : Jantiar Sitorus,
Purna Kabid Usaha Jasa Kontruksi, Sarana dan Prasarana Perhubungan IIIb KemBUMN
Menarik tulisan Irnanda Laksanawan, Kompas 14 Mei 2022 "Arah Subsidi BBM dan Tren Transisi Energi"  menyatakan antara lain mempertahankan subsidi energi fosil dinilai kurang efisien, karena  sebagian besar subsidi BBM dinikmati masyarakat kelas menengah atas.
 Menurutnya perlu di evalusi  kebijakan subsidi BBM tersebut dan dialihkan  untuk pengembangan industri Energi Baru Terbarukan (EBT). Ulasan Irnada Laksanawan ini sangat baik  mendorong pengembangan EBT satu dan lain Indonesia turut menjaga ekosistim  kelestarian lingkungan energi hijau menekan  eksploitasi energi fosil.
 Perlu kita ketahui sesuai PP Nomor 79/2014  tentang Kebijakan Energi Nasional bauran Energi Primer  2025 untuk energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23%, batu bara 30%, minyak bumi 25% dan gas bumi 22%.  Berdasarkan data KSDM sektor energi baru terbarukan hingga 2021 realisasinya mencapai  11.152 MW dari potensi EBT di Indonesia sebesar 418.000 MW. Perlu kita sadari  program EBT bukanlah diatas kertas saja. Tetapi harus konsisten dilaksanakan para pemangku  kepentingan menggerakan ekonomi energi hijau.  Hal ini sejalan  pula dengan Perjanjian Paris 2016 bahwa Indonesia ikut "menekan laju peningkatan tempratur global" dibawah 2 drajat celsius, sebagaima sudah diratifikasi
pada Hari Bumi 22 April 2016 di Markas PBB New York AS Â bersama 54 negara lainnya mengurangi pemakaian energi fosil penyebab polusi udara dan pencemaran lingkungan yang masif. Â
Oleh karena itu tanpa gerakan transisi energi yang agresif, Indonesi dan dunia akan dihadapkan ancaman kerusakan lingkungan yang parah. Hal ini sudah diingatkan Sekjen PBB Antoni Guterres agar Lembaga Keuangan menghentikan pendanaan  proyek berbasis fosil dan  dialihkan investasi ke proyek energi baru terbarukan yang ramah lingkungan. Menyikapi hal tersebut para stake holder pemangku kepentingan tentunya harus bekerja keras berkomitmen kuat bahwa gerakan Transisi Energi yang agresif siap memitigasi menekan kerusakan lingkungan. Dengan demikian Transisi Energi adalah keniscayaan dan tidak bisa  diabaikan agar Indonesia terhindar dari krisis iklim pemanasan global yang melanda dunia.
Dalam mendorong percepatan ekonomi energi hijau yang bersumber dari pemberdayaan energi baru terbarukan perlu kajian  pemangku kebijakan konsultan profesional apakah harga energi yang dihasilkan  listrik EBT kompetitif  dan berkelanjutan dibandingkan energi fosil. Dengan hasil kajian  komprehensif maka dapat diputuskan nilai subsidi dan jangka waktu subsidi sampai pengelolaan listrik hasil EBT bisa mandiri.  Artinya  pengembangan energi baru terbarukan  bisa  dimanfaatkan menghasilkan listrik yang bersumber dari pembangkit Pembangkit Listrik Tenaga Uap, Pembangkit Listrik Tenaga Air, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya, dengan pengelolaan yang profesional. Dalam jangka panjang program pengembangan EBT  menjadi hal yang penting menciptakan indust mendukung pertumbuhan ekonomi  menjadi bagian Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Dengan demikian percepatan pencapaian bauran EBT 23%  pada 2025 akan tercapai dengan cara  antaralain  Biodisel dicampur solar (B 30) dan mencampur bio massa dengan batubara pada beberapa PLTU dikenal dengan metode co firing lebih 5.000 PLTD dengan kapasitas 2.000 MW untuk segera diganti dengan Pembangkit Listrik Tenaga Energi terbarukan sudah merupakan program Energi Nasional.  Untuk itu, mengingatkan kembali para stake holder  pemangku kebijakan bahwa berdasarkan data KSDM potensi energi baru terbarukan di Indonesia 418.000 MW. Baru termanfaatkan 10.400 MW atau 2,5%. Tenaga Surya adalah paling melimpah sebesar 207.800 MW. Dengan demikian potensi dan peluang untuk menggenjot bauran energi terbarukan 2025 sebesar 23% bisa tercapai dengan komitmen kuat pemerintah konsisten menjalankannya. Â
Saat ini tantangan yang dihadapi berhasil tidaknya pengembangan Pembangkit Listrik dari Energi Baru Terbarukan adalah mempercepat regulasi yang mengatur harga tenaga listrik dari energi baru terbarukan  dan bandingkan dengan harga sumber energi fosil yang disubsidi negara. Artinya kebijakan pemerintah dalam memacu pengembangan EBT dalam menghasilkan listrik yang prosesnya ramah lingkungan layak diberikan insentif sehingga eksplorasi optimalisasi EBT menghasilkan listrik dapat dijual kepada yang membutukan dengan harga yang kompetitif. Tentunya dalam menentukan harga listrik dari EBT didukung kajian konsultan profesional.
Dengan demikian ketergantungan kebutuhan listrik yang bersumber dari batubara dan minyak bumi yang masih tinggi dan dalam upaya mendorong gerakan transisi energi yang agresif mencegah kerusakan lingkungan akibat deksplorasi batubara dan minyak bumi yang berlebihan dari perut bumi, maka Pemerintah harus konsisten melaksanakan pemberdayaan EBT menghasilkan listrik mengujudkan bauran Energi Nasional 23 % pada 2025 Â terlaksana satu dan lain diharapkan kerusakan lingkungan krisis iklim global yang mengancam dapat termitigasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI