” Demi kemanusiaan dan keadilan setiap bangsa tidak boleh memperbudak atau diperbudak bangsa lain karena setiap bangsa adalah majikan untuk dirinya sendiri ” ( Romo Jansen Boediantono )
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang lahir dari kearifan budaya nusantara untuk mencari persamaan ditengah begitu banyaknya perbedaan melalui musyawarah mufakat pada tanggal 28 oktober 1928 atau yang lebih kita kenal dengan nama Sumpah Pemuda dengan sebuah cita – cita “ Mengangkat harkat dan martabat hidup rakyat “
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan dasar ukuran dari keberhasilan cita – cita tersebut. Kesempurnaan dasar ukuran akan tercapai bila seluruh perjuangan dikembalikan oleh sebuah keyakinan adanya keterlibatan Tuhan Yang maha Esa didalam proses membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Usaha dan perjuangan untuk tetap bersikap dengan berpihak kepada manusia yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kepada rakyat yang dipimpin oleh hikmah ( ilmu ) kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan merupakan lintasan yang pasti.
Cita – cita Sumpah Pemuda ini merupakan eksternalisasi dari nilai – nilai luhur budaya masyarakat yang menjadi kesepakatan bersama lalu pada gilirannya nanti lambat laun menjadi sebuah pemikiran falsafah. Pemikiran yang dibentuk oleh eksternalisasi ini kemudian mengukuhkan diri dan bangsa Indonesia menghadapinya sebagai faktisitas maka dalam proses inilah terjadi objektivikasi pada pemikiran tersebut. Objektivikasi tersebut pada tanggal 1 juni 1945 pendiri bangsa menamakannya sebagai Pancasila. Dengan ini hendak dikatakan sebagai suatu sistem falsafah, Pancasila merupakan refleksi dari suatu tata nilai yang telah disepakati bersama dan menjadi ciri khas bangsa Indonesia serta mempengaruhi perilaku masyarakat serta pranata sosial - politik dalam mencapai cita - cita yang diharapkan. Dalam pada itu, agar pemikiran yang telah diobjektivikasi tidak menjadi asing bagi bangsa Indonesia itu sendiri yang menciptakannya, ia harus diusahakan kembali menjadi bagian subjektivitas bangsa Indonesia. Inilah tahapan internalisasi. Dan UUD ‘45 adalah cara bagaimana Pancasila menjadi bagian subjektivitas bangsa Indonesia
Pengertian falsafah ini diambil dalam pengertian yang luas, baik sebagai hasil refleksi bangsa Indonesia maupun sebagai ilmu yang memberikan dasar teoritis bagi sistem berpikir bangsa indonesia
Pancasila menjadi sah apabila membawa bangsa ini kedalam situasi dimana Pancasila mampu menjelaskan dan menjawab persoalan yang dihadapi bangsa. Dengan demikian Pancasila membuat aktivitas bangsa Indonesia menjadi efektif dan mengenai sasaran. Terputus dari kehidupan berbangsa dan bernegara Pancasila menjadi verbalisme semata, menjadi berhala bagi bangsa Indonesia. Sebaliknya, terputus dari Pancasila kehidupan berbangsa dan berrnegara menjadi kehilangan arah. Bangsa Indonesia menjadi teralienasi dengan dirinya sendiri. Untuk itu diperlukan proses internalisasi agar Pancasila sebagai hasil objektivikasi menjadi subjektivitas bangsa Indonesia itu sendiri. UUD’45 adalah bentuk internalisasi tersebut
Sebagai bentuk internalisasi UUD’45 dapat dikatakan sebagai progam aksi dalam memberikan tuntunan pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD’45 bertumpu pada asumsi dasar. Asumsi dasar berada pada falsafah yang melandasinya. Bila Pancasila merupakan tumpuan dari lahirnya UUD’45, sedangkan UUD’45 mengatur dan mengarahkan kehidupan berbangsa dan bernegara maka berarti Pancasila bukanlah sesuatu yang tidak praksis dan UUD’45 adalah suatu usaha agar pancasila menjadi sistem gagasan yang dapat diaprosiasikan, terhindar dari kebekuan dan sikap irrasional
Uraian singkat diatas sebenarnya hendak mengatakan bahwa UUD’45 merupakan ideologi dari falsafah bangsa Indonesia dan bukan sekedar konstitusi. Sifat ideologi sangat kental bila kita melihat isi UUD’45 secara totalitas, dimana UUD’45 berisi kehendak sebuah bangsa untuk dominan menentukan sendiri sistem ide dan gagasan yang secara normatif mempengaruhi persepsi, landasan dan perilaku berbangsa dan bernegara
Sebagai contoh adalah makna kedaulatan rakyat seperti yang terdapat dalam UUD’45 hasil amandemen pasal 1 ayat 2. Dari sudut pandang konstitusi pasal ini dapat melahirkan kedaulatan individu dalam pengelolaan partai – partai dan susunan perwakilannya ditentukan oleh pemilu. Pemahaman konstitusional ini dapat menciptakan terjadinya penciutan signifikansi pada hak – hak berpolitik rakyat, terjatuh dalam hak pilih bukan hak suara. Hak pilih tentu saja memiliki perbedaan kualitatif dengan hak suara. Dalam hak pilih siapapun dapat menggunakannya tanpa pertimbangan akal sehat sekalipun, sebaliknya hak suara menuntut pertimbangan akal sehat dan kearifan dalam menggunakannya. Pemahaman konstitusional ini pada gilirannya nanti akan menyebabkan kekuasaan ditentukan oleh faktor pilihan mayoritas. Hal ini tentu saja sangat membahayakan : Bagaimana jadinya bila pilihan mayoritas kepada kelompok yang anti pada kedaulatan rakyat?
Makna kedaulatan rakyat tersebut tentu saja berbeda bila kita memahami UUD’45 dalam kerangka ideologis. Pasal tersebut diatas memiliki keterkaitan kuat dengan sistem nilai pancasila, yaitu musyawarah mufakat. Dengan demikian yang dinamakan kedaulatan rakyat mengandung arti kedaulatan yang diwujudkan dalam badan perwakilan rakyat yang susunannya ditentukan oleh hak suara dari musyawarah mufakat rakyat.
UUD ‘45 sebagai ideologi dari falsafah Pancasila tentu saja tak dapat dengan mudahnya begitu saja diganti atau dirubah. Pergantian atau perubahan terhadap UUD’45 bila tidak memahami betul grand design bangsa indonesia sangat membahayakan karena akan menciptakan jarak eksistensial antara kehidupan berbangsa dan bernegara dengan Pancasila. Oleh karena itu pembatalan terhadap amandemen UUD’45 sangat mendesak untuk dilakukan agar cita - cita bangsa Indonesia “ Mengangkat harkat dan martabat hidup rakyat “ dapat tercapai.