Teringat pengalaman semasa kecil  di kampung halaman saya tepatnya di desa Sibaragas, Kecamatan Pagaran, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara (daerah Siborongborong yang masih hits). Dimana ketika panen padi, petani memanen padinya dengan istilah Bataknya "marsiruppa" atau "marsiadapari" yaitu bahu-membahu atau tolong-menolong untuk memanen padi secara bergiliran. Tradisi ini masih awet hingga saat ini.Â
Pemanen padi tidak begitu mengharapkan upah berupa gaji (uang) atas jerih-payah mereka selama panen. Namun, mereka cukup disuguhi makan (breakfast till to dinner)Â ditambah minum kopi ketika istirahat....hehehhh. Kelompok pekerja/pemanen akan melakukan hal yang sama semua secara bergiliran.
 Wah, nilai-nilai "kegotongroyongan" yang ditanamkan leluhur kita memang masih terasa. Istilah panen padi itu dikenal dengan "marsabi-batting" (padinya disabit/diarit lalu dibanting untuk memisahkan bulirnya). Â
Pemanen mengarit padinya terlebih dahulu sambil mengumpulkannya dengan tumpukan kecil yang disebut tibalan demikian selanjutnya hingga selesai. Setelah tahap pengaritan selesai, lalu  tibalan demi tibalan diangkut lalu di tumpukkan di suatu tempat.Â
Tumpukan jerami padi dengan skala besar inilah yang disebut luhutan. Luhutan tersebut bisa dibentuk memanjang atau terkadang melingar hingga ke atas (berbentuk slinder atau tabung). Kadang, luhutan bisa saja dibiarkan selama 2-3 hari (yaitu proses pengeraman padi yang belum begitu matang) dengan tujuan supaya bulir-bulir padinya gampang tanggal ketika dibanting.Â
Tapi kalau yang namanya "marsabi-batting", pada umumnya proses pengaritan hingga pelepasan bulir dengan membanting yang disebut "mambatting" harus diselesaikan hari itu juga. Uniknya ketika mambatting, biasanya dilakukan oleh seorang "parsagi" (yang membagikan segenggaman padi untuk dibantingkan), 2-3 orang juru banting (dengan pukulan yang seirama terkadang meneriakkan "satu, dua, tiga" untuk menambah semangat membantingkan padi tersebut) ditambah seorang lagi "pardege"(bila mana ada bulir padi yang belum tanggal seutuhnya lalu dipijak-pijak dengan cara memutar-balikkannya) .
Btw, kembali lagi dengan kata luhutan tadi. Membentuk suatu luhutan ternyata tidak gampang sobat, karena tumpukan tersebut terkadang bisa meninggi.
Apalagi jika luhutannya membentuk tabung sangatlah susah karena kuncinya ada di dasarnya yang disebut dengan "dasor". "mandasor" atau membuat dasar harus hati-hati. Dimana jerami padinya harus disusun dengan sangat rapih sebagai alas atau dasar  berbentuk persegi atau persegi panjang dengan ketebalan kira-kira 2 jengkal orang dewasa.Â
Setelah itu dibentuklah tumpukan melingkar di atasnya sampai meninggi hingga membentuk tabung. Jika dasor/dasarnya tidak disusun rapih atau aut-autan maka tumpukan yang di atasnya akan tumbang berantakan/ rusak (="sega" bahasa Batak red.). Itu sebabnya leluhur Batak membuat filosofi dengan ungkapan "SALA MANDASOR SEGA LUHUTAN"Â mungkin untuk istilah bagian bangunan, "salah buat pondasi, rusak/robohlah bangunannya."
Tak salah jika para tetua Batak sering menyampaikan filosofi tersebut kepada generasi ataupun anak-anaknya. Supaya jangan salah mendidik anak, jangan salah bergaul bila di perantauan. Terkadang perkataan tersebut juga disampaikan kepada pasangan pengantin supaya jangan salah dalam membentuk keluarga baru, harus didasari Kasih, Kesetiaan, dan Keimanan yang kuat supaya langgeng. Masih banyak lagi peruntukan ungkapan tersebut.
Saat ini, saya merantau di Tanjung Leidong daerah pesisir pantai Timur Sumatera Utara, Kecamatan Kualuh Leidong, Kabupaten Labuhanbatu Utara Sumatera Utara. Kecamatan Kualuh Leidong  dan Kualuh Hilir dahulu dikenal sebagai lumbung padi terbesar di kawasan Sumatera Utara.Â