"Mba,,,,tolong saya. Saya tidak tahu harus kemana lagi mencari bantuan," rintih seorang ibu.
" Sudah bu, kita percayakan pada mereka saja. Pak kades dan yang lainnya pasti bisa menolong kita," wanita muda disampingnya memberi semangat.
"Saya sudah mondar-mandir kesana kemari tapi belum ada hasil mba, kalau bukan pemerintah yang menolong warganya lalu siapa lagi yang peduli".
Aku mengerutkan dahi mendengar pernyataanya. Aku melihat matanya yang sembab karena dari tadi tak hentinya dia menangis. Riasannya yang tebal tak menutupi mukanya yang berkerut. Terlihat mukanya yang belang-belang bekas bedak yang terkena usap. Wanita tua itu bernama ibu Jonah. Sudah satu minggu ini dia bolak-balik ke balai desa untuk meminta bantuan. Meskipun aku sendiri bingung bagaimana cara membantunya.
Namaku Qirana Saraswati. Umurku 24 tahun. Aku sarjana lulusan ilmu politik dan sosial. Setelah lulus kuliah, aku putuskan pulang ke kampung halaman. Melihat apa yang bisa aku lakukan untuk kampungku. Aku sudah bekerja di Pemerintahan Desa Padamesem Kecamatan Padaseneng Kabupaten Padamakmur selama 2tahun. Selama itu pula, banyak hal-hal unik yang aku temui. Tak jarang cacian atau makian aku dapati karena sikapku yang sangat taat aturan. Kebanyakan warga inginnya segala urusan cepat selesai meskipun melalui jalur yang salah. Dan itulah masalahnya, aku pantang dengan semboyan ""Semuanya gampang bisa diatur asal ada..........................................".
"Ibu Jonah, dulu saya kan sudah bilang ikuti semua aturan yang sudah ditentukan. Penuhi persyaratannya, kalau memang tidak memenuhi ya jangan dipaksakan. Kami pemerintah desa saja tidak tahu kalau anak ibu bisa kerja", aku coba mengingatkanya.
Mendengar jawabanku ibu Jonah hanya nyengir kuda. Kilauan gigi emasnya menggantikan sinar mentari yang pagi itu tak bersinar.
" Lah wong saya pikir yang penting cepat kerja. Sampean* juga sih waktu itu ndak bantu saya".
Ehhh lah dalah nih orang sudah salah malah menyalahkan orang. Ingin rasanya aku tinggal. Masih tajam ingatanku. Waktu itu ibu Jonah memakai baju gamis warna merah ngejreng dan jilbab kuning, ditambah kiloan emas di tangannya datang ke Kantor Desa untuk mengurus surat-surat anaknya yang akan bekerja di kapal luar negeri.
"Mba...cepet buatkan surat pengantar  buat KTP anak saya. Dia mau kerja di luar negeri",perintahnya.
"Bisa bu...saya minta kartu keluarganya. Saya juga minta dokumen persyaratannya difotokopi untuk arsip desa. Jadi kalau nantinya ada masalah, desa bisa ikut bantu. Penyalurnya nya harus jelas bu, ilegal apa legal", jelasku.
"Ini kartu keluarganya. Sampean nyumpahin anak saya bermasalah. Anak saya mau diajak kerja di kapal luar negeri. Penyalurnya mas Dalim. Dia sudah banyak menyalurkan TKI/TKW desa ini. Saya mah percaya saja sama mas Dalim. Kata mas Dalim gajiannya gede nyampe 5juta tiap bulan", oceh bu Jonah.
"Jangan mudah percaya bu, cepat kerja dan tergiur dengan gaji besar. Semuanya harus diteliti dan jelas. Jangan sampai njenengan* kena tipu", sambil ku lirik kartu keluarga yang disodorkan bu Jonah.
Aku lihat dan teliti betul identitas yang terpampang di kartu tersebut. Johanes Agustinus, Padamakmur 17 Agustus 2004. Aku hanya bisa geleng kepala membacanya.
"Bu.....ini Johanes Agustinus anak ibu yang mau kerja di luar negeri? Umurnya saja baru 15tahun bu. Jangankan dapat bekerja, dapat KTP saja belum bisa. Ini mah umur anak sekolah. Emangnya anak ibu ini ndak sekolah"? selidikku.
" Buat apa sekolah. Lah itu si Dukim ndak sekolah juga bisa ke luar negeri. Dapat duit banyak. Kalo si mba sekolah tinggi gajinya berapa? Udah pernah ke luar negeri belum?"
Hufffttttt panas rasanya denger ocehannya itu. Tapi ya sudahlah.Â
" Saya tahu mba, umur anak saya belum 17 tahun belum bisa buat KTP. Makanya saya datang kesini, minta tolong mba cantik biar buat surat pengantar ngerubah umur anak saya. Gampang kok mba, semua bisa diurus kan. Saya sudah biasa ngurus kaya gini sama pak Japra", bu Jonah tersenyum lebar sembari menyodorkan lembaran kertas warna merah bergambar sang proklamator.
Langsung aku tersenyum dan menyodorkanya kembali. Sepertinya dia kecewa dan bingung kenapa tawaran baiknya ditolak.
" Kurang toh mba, yo wes saya tambahin lagi", bu Jonah masih mencoba membujukku.
Ku hadapkan tanganku tanda menolak. Mukanya mulai merah tanda dia marah.
" Mba susah amat sih. Tinggal bikin surat pengantar gitu aja kok repot. Toh nanti yang maju ke Kecamatan saya sendiri. Mba ini siapa sih. Ndak kenal saya yah Ibu Jonah, pengusaha tempe terkaya di desa Padamesem ini. Mana pak Japra, kalau sama dia pasti beres", bu Jonah clingak clinguk mencari wujud pak Japra.
" Bu Jonah yang cantik budiman pengusaha tempe terkaya, pak Japra sudah dipecat karena kasus korupsi dana desa".
"Weleh orang baik suka bantu saya kok dipecat. Ndak mungkin beliau korupsi".
"Jangan pikir korupsi itu cuma memakai uang rakyat bu, kalau njenengan sering minta tolong dan kasih duit, itu termasuk KKN juga. Bisa dipidana". Ku lihat muka bu Jonah jadi pucat.
"Ibu, saya ndak bisa membuatkan surat pengantar karna memang anak ibu belum cukup umur. Lagipula untuk kerja di luar negeri harus ada dokumen persyaratannya. Seperti kartu keluarga, ktp, surat ijin orang tua/suami/istri, foto, surat identitas perusahaan,surat perintah rekrut, dan surat tugas sponsor/penanggung jawab. Semuanya diketahui desa, supaya kalau ada masalah di kemudian hari kita mudah melacaknya", jelasku panjang lebar. Entah dia paham atau tidak.Â
" Apakah semua dokumen itu sudah ada? Yang namanya mas Dalim itu punya surat sponsor ndak bu? Semua dokumen itu desa juga menyimpan sebagai arsip bu".
" Ahhhhhh saya ndak tahu mba, nanti saya tanyakan ke mas Dalim. Yang penting sekarang buat surat pengantar KK dan KTP".
" Maaf bu saya ndak bisa".
"Ehhh lah dalah...sampean susah toh. Sok kaya amat. Tinggal buatin aja berapapun biayanya saya sanggup bayar".
"Yakin bu berani bayar berapapun", aku mencoba menggoda bu Jonah.
" Iya mba berapapun yang mba minta. Nah gitu dong mba nya dari tadi". Bu Jonah sumringah giginya tampak lebih berkilau bak kilatan petir.
" Saya minta 10juta, nanti saya uruskan semua. Gampang bu semua bisa diatur".
" Ealahhhh wong edan, permisi". Bu Jonah pergi dengan mulutnya yang masih komat kamit ngedumel.
Aku tertawa puas dalam hati. Jahatkah aku sebagai pelayan masyarakat? Ah aku kan cuma bercanda. Aku ingin semua orang bisa mengerti bahwa semua pengajuan administrasi ada aturannya dan dengan jalan yang bersih.
Setelah peristiwa itu bu Jonah tak pernah kembali lagi. Aku tidak tahu apakah anaknya jadi berangkat ke luar negeri dengan dokumen palsu atau tidak. Dan aku pun kaget, setelah 6 bulan berlalu bu Jonah kembali dengan deraian air mata. Aku bertanya-tanya apa yang akan dilaporkan bu Jonah.Â
Dan ternyata benar, anaknya Johanes Agustinus sudah 4 bulan ini tidak ada kabar beritanya. Jangankan uang kiriman, dia ada dimana saja bu Jonah tidak tahu.
"Mba...sudah 4 bulan ini anak saya yang kerja di Malasyia tidak ada kabarnya. Cuma 2 bulan dia kirim uang dan kabar, setelah itu hilang entah kemana".
" Bu Jonah sudah tanya ke mas Dalim sebagai sponsor?"
"Mas Dalim juga hilang entah kemana. Waktu itu setelah saya bayar 3juta, kita tidak ada komunikasi lagi".
" Surat-surat persyaratan yang harus dipenuhi dulu ada dimana?"
" Ndak ada....anak saya cuma dibawa mas Dalim ke Jakarta terus berangkat ke Malasyia".
" Jadi ibu tidak tahu sama sekali, dimana alamat perusahaan dan petunjuk lainnya?"
Bu Jonah hanya mengangguk pelan sambil mengusap air matanya. Sedangkan aku hanya mengelus dada. Ini yang aku khawatirkan kalau ada warga yang ingin bekerja luar negeri dengan jalur ilegal. Sudah satu minggu ini bu Jonah melapor ke desa. Kami selaku pemerintah desa sudah berusaha mencari bantuan ke pihak lain. Seperti Dinas Ketenaga Kerjaan dan Dinas Sosial. Meskipun ketika melapor, kami mengalami kesulitan karena sedikitnya informasi. Kami hanya berbekal nomer telepon yang dulu pernah digunakan Johanes untuk menelpon bu Jonah.
Aku sebagai pelayan masyarakat sudah sering sekali mengingatkan ke warga yang ingin bekerja di luar negeri. Karena jika asal berangkat, bisa jadi mereka menjadi korban penipuan. Bukannya kerja di tempat yang enak dengan gaji besar, melainkan bekerja tanpa upah. Tak jarang mereka menjadi korban perdagangan orang. Mereka dipindahkan ke tempat yang lebih jauh untuk dipekerjakan tanpa upah. Apalagi untuk tenaga wanita, mereka bisa dijadikan pekerja seks.
Kasus  anak bu Jonah hanyalah satu contoh dari banyak kasus. Karena tergiur dengan proses cepat dan gaji besar, masyarakat menghalalkan segala cara. Tak jarang desa sama sekali tidak tahu. Tapi, jika ada masalah pastinya pemerintah desalah yang pertama kali dihubungi.
Akhirnya setelah dilakukan upaya kesana kemari dan penelusuran nomer telepon kami mendapat informasi kalau Johanes Agustinus berada di Serawak Malaysia. Sang sponsor mas Dalimpun akhirnya ditemukan. Dari keterangan mas Dalim, diketahui Johanes dibawa ke Malasyia oleh Tuan Takur. Bos besar dari Jakarta yang terbiasa mengirim seseorang untuk dipekerjakan di luar negeri. Â
Dan akhirnya, kami mendapat kabar dari Dinas Sosial bahwa Johanes berhasil ditemukan . Alangkah bahagianya bu Jonah ketika aku sampaikan kabar ini. Johanes dijemput oleh Pak Kades, kepolisian, keluarga, dan tentunya aku. Pertemuan mengharukan itu pun terjadi.
"Alhamdulilah ya Alloh, anakku yang paling ganteng akhirnya pulang juga", bu Jonah memeluk dan mencium Johanes tanpa henti.
"Iya bu alhamdulilah, berkat bantuan dari semuanya. Setelah ini aku ndak mau lagi kerja lewat cara ilegal".
" Iya nak, ibu juga kapok sekapok kapoknya. Pak Kades, mba Qirana, dan semuanya saya ucapkan banyak terimakasih atas bantuanya. Saya hanya bisa mendoakan semoga semuanya panjang umur, berkah barokah hidupnya", doa bu Jonah.
"Iya bu sama-sama. Kami harap kejadian ini bisa diambil pelajarannya", jawab Pak Kades.
Tiba-tiba bu Jonah mendekatiku dan perlahan berbisik padaku.
"Mba Qirana mau yah jadi menantu saya. Ini anak saya si Johanes kan gantenganya ndak ketulungan kaya Cristian Sugiono".
Ampun ahhh mendengar tawaran bu Jonah. Aku hanya nyengir kuda dan langsung berbalik arah menuju mobil. Masih sempet-sempetnya ngomong kaya gitu. Bu Jonah oh bu Jonah.
Tidak ada salahnya bekerja di luar negeri, asalkan melalui jalur yang aman. Toh baik buruknya nanti kita sendiri yang menanggung. Keesokan harinya aku bekerja seperti biasa di kantor. Waktu itu aku lagi minum teh dan makan lemper karena di rumah tak sempat sarapan. Muncullah dengan gagah perkasa seorang kakek sekitar umur 70 tahun. Dia memakai kemeja bunga-bunga dan kerennya lagi pakai kaca mata hitam. Di belakangnya ada seorang gadis belia. Kulitnya putih bersih, matanya sipit, berambut panjang dan berbibir merah merona. Aku pikir gadis itu pasti cucunya.
Kakek itu duduk persis di depanku. Sebelum berbicara, dia tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang putih dan tak ada satupun yang ompong. Pikirku, dia memakai gigi palsu. Nyentrik benar ini kakek.
"Permisi mba yang cantik jelita. Saya mau minta tolong buatkan surat pengantar KTP untuk gadis pujaan hati saya ini. Bulan depan kami akan menikah", pinta sang kakek
Gubragggggg.......mataku melotot, mulutku mlongo. Oh ya Alloh Tuhanku apa lagi ini......
*sampean= anda
*njenengan = anda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H