Sebuah episode cinta yang sangat mengaharukan sekali lagi ditunjukkan oleh orang-orang di sekeliling Muhammad, Sang Manusia Pilihan. Suatu shubuh setelah beberapa hari Sang Nabi tak sanggup memimpin shalat berjama’ah di mesjid, akhirnya Sang Nabi hadir dan memimpin shalat berjama’ah.
Setelah selesai shalat, Muhammad berdiri di mimbar. Kemudian melantunkan tahmid dan tasbih kepada ALLAH, hening, senyap, para sahabatmendengarkan dengan khusyu’. Jiwa-jiwa yang rindu pada sentuhan hikmah Sang Nabi. Tetapi, ternyata Muhammad tak menyampaikan hikmah, selanjutnya Sang Nabi bertanya kepada semua, “Wahai sahabat yang aku cintai, kalian tahu umurku tak akan lagi panjang, siapakah diantara kalian yang merasa pernah teraniaya oleh si lemah ini, bangkitlah sekarang untuk mengambil qisas, jangan menunggu hingga kiamat menjelang, sekarang sungguh lebih baik.”
Semua yang hadir terdiam. Tak pernah sedikitpun terfikir di benak mereka untuk mengambil qisas dari Sang Nabi, karena bagi mereka perilaku Nabi tak pernah membuat mereka sakit hati. Perilakunya selalu menyenangkan hati dan selalu mengajarkan kasih sayang. Seandainya ada orang yang menyakiti Nabi meski hanya seujung kuku, mereka pun rela mengorabnkan dirinya.
Melihat semua sahabatnya hanya terdiam, Nabi mengulangi lagi pertanyaannya dengan lebih keras, “Wahai sahabat yang aku cintai, kalian tahu umurku tak akan lagi panjang, siapakah diantara kalian yang merasa pernah teraniaya oleh si lemah ini, bangkitlah sekarang untuk mengambil qisas, jangan menunggu hingga kiamat menjelang, sekarang sungguh lebih baik.” Begitupun para sahabat masih tak ada yang bersuara dan bangkit. Semua terdiam, sunyi, senyap…
Kemudian Sang Nabi mengulangi pertanyaannya sekali lagi. Lalu tiba-tiba saja keheningan itu berakhir. Seorang laki-laki bangkit dan berjalan menuju Sang Nabi, dan seluruh mata pun tertuju padanya. Siapakah dia? Dia adalah Ukasyah ibn Muhsin.
“Wahai RasuluLLAH,” katanya, “Dulu aku pernah bersamamu di Perang Badar. Untaku dan untamu berdampingan, dan akupun menghampirimu agar dapat menciummu. Namun, saat itu engkau melecutkan cambuk pada untamu agar dapat berjalan lebih cepat. Sesungguhnya ujung cambukmu memukul lambungku.”
Para sahabat yang mendwengar perkataan Ukasyah menjadi marah, mereka kesal atas apa yang dilakukan Ukasyah. Suasana yang hening berubah menjadi gaduh. Tetapi Nabi meminta semua untuk tenang. Dan para sahabat pun kembali terdiam dengan rasa kesal yang masih belum hilang dari dada mereka.
Mendengar keluh kesah Ukasyah, Sang Nabi pun menyuruh Bilal untuk mengambil cambuk dari rumah Fatimah – putri kesayangannya. Bilal pun dengan berat hati melangkah pergi untuk mengambil cambuk yang nantinya akan melecut tubuh Sang Nabi. Bagaimana tidak, karena sesungguhnya ia tidak ingin melihat Nabi terluka oleh lecutan cambuk yang nanti akan diterimanya.
Suasana pun semakin riuh, semua orang menghardik Ukasyah yang telah berani lancang kepada Sang Nabi. Semua orang menyayangkan sikap yang telah dilakukan Ukasyah. Begitu teganya Ukasyah menyampaikan hal itu kepada orang yang sangat dicintai mereka. Namun Ukasyah tetap terdiam, tanpa kata-kata.
Kemudian Bilal pun datang dengan membawa cambuk seperti yang telah diperintahkan Sang Nabi. Meskipun sedih dan tak rela namun cambuk itu tetap diserahkan ke tangan Sang Nabi. Sang Nabi pun kemudian menyerahkan cambuk tersebut ke tangan Ukasyah. Dan seketika itu cambuk berpindah ke tangan lelaki itu, Ukasyah ibn Muhsin. Para sahabat pun semakin marah, tak ada yang tega melihat kekasih hati mereka dilecut dengan cambuk.
Saat Ukasyah bersiap, tiba-tiba melompatlah dua orang menghalanginya. Yang pertama, adalah sahabat Nabi yang lembut hatinya, yang sejak tadi sudah berurai air mata, dialah Abu Bakar. Dan yang kedua, sahabat Nabi dengan sosok pemberani dan tegas, Umar bin Khattab.
Gemetar mereka, Umar menatap Ukasyah dengan tatapan yang tajam. Sementara Abu Bakar, dengan bibir gemetar berkata, “Wahai Ukasyah, pukullah kami berdua, cambuklah kami sesuka yang kau dera. Jatuhkanlah qisas mu kepada kami, jangan sekali-kali engkau pukul RasuluLLAh kekasih kami…”, tangisnya kembali terisak, dadanya berguncang.
Umar pun baru saja hendak mendekati Ukasyah dengan kemarahan yang amat sangat sertaq tangannya yang sudah terkepal saat Muhammad mencegahnya dan menenangkan meraka, “Duduklah kalian wahai sahabatku, sesungguhnya ALLAH telah mengetahui kedudukan kalian di sisiki.” Kedua sahabat itupun kembali ke tempatnya semula dengan keaddan yang masih tidak rela.
Ukasyah tak bergeming. Ia tetap menggenggam cambuknya erat. Melihat dua sahabat tersebut duduk kembali, Ali bin Abi Thalib pun tak tinggal diam. Berdirilah ia di depan Ukasyah dan bersedia juga menggantikan kedudukan Nabi untuk qisas sama seperti permintaan dua sahabat sebelumnya. Tetapi kembali Muhammad meminta Ali duduk kembali. “ALLAH sesungguhnya tahu kedudukan dan niatmu, wahai Ali. Duduklah kembali”, kata Nabi dengan lembut.
Setelah itu cucu tersayang Nabi pun juga mencoba untuk mengahalangi Ukasyah, Hasan dan Husain bin Ali, dan sama seperti sebelumnya Muhammad pun menegur mereka, “Wahai penyejuk mata, cucu-cucuku tercinta, aku tahu kecintaan kalian kepadaku. Duduklah, biarkanlah aku yang mengambil qisas ini.” Muhammad tersenyum pada Hasan dan Husain.
Masjid kemabli heniung, suasana itu sangat membuat hati para sahabat terguncang. Banyak isak tangis tak tertahankan, beberapa bahkan tertunduk dengan bahu yang mengguncang. Ukasyah melangkah semakin mendekati Sang Nabi. Jantungnya berdegup kencang, Ukasyah terus melangkah tanpa ada lagi yang menghalangi. Para sahabat pun seperti menahan napas. Ukasyah akan segera mengambil qisas.
“Wahai Ukasyah, inilah ragaku, ambillah qisasmu,” Muhammad melangkah maju. “Wahai RasuluLLAH, saat cambukmu mengenai lambung kiriku, ketika itu aku tak mengenakan sehelai kainpun yang menghalangi lecutan cambukmu di tubuhku.” Kata Ukasyah. Tanpa berbicara, Muhammad langsung melepaskan ghamis-nya, hingga tersingkaplah tubuh suci Sang Nabi. Seketika pekik takbir menggema, “ALLAhu Akbar! ALLAHu Akbar!”. Semua yang hadir menangis pedih, semua tak sanggup melihat apa yang akan terjadi.
Melihat tubuh suci Sang Nabi, Ukasyah langsung menanggalkan cambuknya dan menghambur memeluk tubuh Muhammad. Dengan sepenuh cinta direngkuhnya tubuh Sang NAbi, ia dekap erat. Gumpalan kerinduan yang mendalam ia tumpahkan seluruhnya. Ukasyah menangis gembira, ia bertasbih, berteriak haru, dengan gemetar ia berkata, “Tebusanmu, jiwaku wahai RasuluLLAH. Siapakah yang sampai hati meng-qisas menusia dengan perangai paling indah sepertimu? Sesungguhnya aku hanya berharap tubuhku melekat dengan tubuhmu, hingga ALLAH dengan keistimewaan ini menjagaku dari siksa api neraka.”
Para sahabat yang semula marah terdiam membisu. Air mata mengalir lembut di pipi mereka. Sambil tersenyum, Sang Nabi berkata, “Ketahuilah wahai manusia, barang siapa yang ingin melihat penduduk surge, maka lihatlah pribadi lelaki ini.” Ukasyah langsung tersungkur bersujud memuji ALLAH.
Tak ada yang menyangka,,,kembali pekikan takbir menggema. Para sahabat pun berterima kasih kepada Ukasyah, karena dia telah menunjukkan dan mengajarkan mereka makna cinta terdalam. Shubuh itu, kembali satu episode cinta yang sangat indah kembali disaksikan. SubhanaLLAH,,,
Semoga kita dapat meneladani cinta dari para sahabat, kecintaan dalam jalan keta’atan, cinta dalam menggapai mardhatiLLAH…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H