Ilustrasi:Â http://dancok.deviantart.com/
Masuk dalam kekakuan hipno tak bertuhan,
menjalar pleno-pleno malam yang mulai beruban
Menjelajah sebatang lorong dan jejawut yang selalu kalang kawut ,
diantara rambut sampai rona rumput
Kolibri ranjang,
semangkuk arang
hingga seungguk tangga yang tak pernah bisa terbaca
berbata-bata
Kapling-kapling guling berdesakan menjadi isteri,
bersuling, berkeliling, tak terinjak anjing-anjing maling
Deretan kartu dewa yang selalu ramai didendangkan dawai,
kadang bercerai hingga saat ini pun berubah ramah menjadi marah
Dinding keramik basah,
reunian orang-orang susah,
berkumpul pikul meniti simpul,
tapi bukan simpul mati!
Didalamnya,
aku menghabiskan rakaat berabad-abad,
bertasbih-tasbih dzikir
dari mahir sampai kini mulai kikir
***
Sajadah tangan ini yang tak pernah lagi aku setubuhi,
mulai pikun, berlari dengan bahasa-bahasa kemangi
Belajar kata-kata, kemudian aku terlupa, manja disiksa, pergi dicari, janji dimaki,
melebur bersama-sama hancur tak terukur
Aku bebal dengan pepatah darah yang tertangkap diujung hidung dan terkulai sepi dalam segelas kopi
Kutanyakan lagi kartu-kartu dewa yang mulai papa bersama perkusi setan yang menertawakan aku dan tuhan
Tak tahu malu aku, menantang ranjang yang di kebiri, bersama rumput dekat dengan aduan tuhan
Entah sampai tubuhku yang menjadi batu ataupun tuhan yang tak pernah rela aku tertidur diragaku
Aku tak tahu dimana aku yang selalu rindu dengan tuhan, ibu dan bapakku.
Mahatan, 2012
NB: Pernah dipublikasikan di http://aangsalmanalfarisia14090034.blogspot.com/ dan di https://www.facebook.com/aang.salmanalfarisi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H