REBUT
(Janitradp)
Nama akrabnya Mat. Mat Thabrany, ya nama panjangnya adalah Mat Thabrany. Nama
yang diberikan orang tua nya, Mat yang berarti tulus dan Thabrany (biasanya dibaca tabroni oleh
guru dan teman-teman Mat) yang diartikan sebagai harapan dapat menjadi anak yang pintar. Mat
Thabrany, tulus dan pintar, merupakan harapan mulia orang tua kepada anaknya, agar senantiasa
bermanfaat dan suka menolong sesama saudara sebangsa setanah air nya. Ya, nama yang cukup
khas sebagai penduduk asli kampung halamannya yang sekarang menjadi Ibu Kota dari Negeri
Nusantara ini.
Senja kala ini, telah menggelapkan pandangan mata Mat dari jendela kamarnya yang
berbentuk persegi panjang yang berbingkai kayu Jati (pohon yang sekarang sudah semakin sulit
untuk dicari). Sayup-sayup mata Mat menatap langit oranye yang berubah menghitam. Dilirik
nya kearah jarum jam yang terdengar keras dentum jarum jam tersebut dikuping Mat. Tepat
jarum pendek jam tersebut berhenti diangka 6, jarum panjang nya berada di angka 28 dan disusul
jarum penghitung detik yang terus berputar di jam dinding lingkaran berwarna putih yang
menempel di dinding kamar Mat yang memakai wallpaper itu. Resah di raut wajah Mat
menggambarkan seolah dia seperti ingin dikejar serigala dari gunung es. Tak lama, terdengar lah
adzan Maghrib di kuping nya. Lekas dia menuju keran di dalam kamar mandi kamarnya setelah
adzan selesai berkumandang, tentunya untuk berwudhu dan lanjut untuk sembahyang dengan
cara agamanya.
Seperti anak kampung Jakarta pada umumnya yang biasanya memiliki tipikal sebagai
orang yang taat beragama, Mat juga tak kalah taat. Mat sering resah ketika dirinya belum
menjalankan sembahyang (sembahyang dalam agama Mat yaitu, solat sebagaimana ajaran agama
Mat sebagai muslim). Mat yang di kala senja itu merasa lelah, tidak tega untuk memejamkan
mata dan tertidur jika dirinya belum menjalankan sembahyang. Raut wajah Mat yang seolah
banyak urat yang kaku karena resah, seperti mengendur ketika Mat sudah selesai sembahyang.
“Akhirnya, udah solat Maghrib, udah ga ada yang ngeganjel lagi di ati buat rebahan. Haaahhh”
Kata Mat kepada dirinya sendiri sembari melepas lelah di atas kasur springbed nya.
Mat pun merebahkan dirinya di kasur selama 5 menit, tetapi dia pun tidak bisa juga untuk
tenang.
“Ga ngapa-ngapain, tanggung banget dikit lagi adzan Isya. Masa tidur sih.” pikir Mat
dalam benaknya dan di ucapkan oleh mulutnya sembari menatap langit-langit kamarnya.
Mat yang dari mulai sang fajar datang untuk menampakan sinar penyemangatnya, sampai
senja menggantikan keberadaan fajar, tidak berhenti berkutat dengan angka-angka fisika,
matematika dan kimia di sekolahnya. Mat pun beranjak dari kasurnya, sudah cukup
beristirahatnya. Pikir Mat yang tidak sabar untuk membuka buku pelajarannya. Tidak sengaja
Mat membuka buku Bahasa Indonesia milik anak kelas 2 sekolah dasar (Mat juga menjadi guru les untuk tetangga nya yang masih SD untuk sekedar mengisi waktu dan berbagi ilmu). Niat Mat
yang awalnya ingin belajar fisika menjadi tertunda karena membaca sebuah cerpen yang
menggambarkan kota lama dari Jakarta yang sekarang menjadi tempat bernaungnya.
“Coba aja bisa hidup di jaman dulu ya. Masih bersih lingkungannya, harmonis kehidupannya,
santun tingkah lakunya.” Tidak adil pikirnya, kalau pun memang kota ini harus menjadi kota
multikultural akan tetapi dengan semena-mena di rombak 180 derajat oleh mereka yang tidak
bertanggung jawab.
Bertanya-tanya di pikiran Mat. Apa yang akan Mat perbuat, dia hanya anak kelas 2 SMA,
tidak akan sanggup untuk membongkar gedung di sekitar pantai Jakarta, tidak akan sanggup
memberi pemikiran positif untuk para kriminal yang awal mula mereka datang ke Jakarta untuk
mencari pekerjaan halal akan tetapi malah terjebak dalam pemikiran sempit untuk mengais rejeki
dari merebut rejeki orang lain dan merusak sistem yang harmoni menjadi sistem yang ngeri, dia
bukan hanya menghadapi kriminal kelas teri, tetapi kelas kakap yang berdasi dan memakai
topeng bermuka teduh dengan mata sayu dan bibir manis.
“REBUT!” ucap Mat kepada dirinya sendiri.
Bukan dengan cara berdemo untuk mereka orang-orang kriminal yang tadi dia pikirkan.
Tetapi merebut dengan cara menanamkan nilai-nilai budaya nya dimulai dalam diri sendiri agar
masih bisa menyatakan bahwa “Saya adalah penduduk asli kampung ini, buktinya saya cinta
dengan alamnya dan yang lebih penting, saya juga mengenal budaya nya”. Dibuka nya internet
untuk mencari tahu di tempat mana dia harus belajar budaya nya sendiri, karena jujur saja
semenjak kecil Mat dengan orang tua nya jarang bertemu untuk membahas tentang suku nya,
kesalahan memang dari orangtua saat ini yang tidak mengenalkan anak cucu nya tentang budaya
aslinya. Akhirnya dapat lah sebuah nama kampung yang keluar di internet, yaitu, “Kampung
Betawi” tempat dimana dia bisa lebih mengenal budaya asalnya yang berada di ujung kota
Jakarta yang berbatasan dengan Depok.
Tidak terasa, sudah selama lima bulan dia belajar budaya Jakarta. Rasanya belum cukup
untuk menguasai ilmu budaya nya jika berhenti sedini itu. Akan tetapi berita buruk pun datang
karena tiba-tiba ayah nya meninggal akibat sakit Jantung yang sudah lama di derita oleh ayah
nya. Ibu nya pun tidak pasrah saja, sekarang dia hanya bisa bergantung dari berdagang dan mulai
mengganti pola hidup mereka. Jujur saja, pendapatan keluarga Mat yang sekarang tidak sanggup
untuk membiayai kehidupan Mat dan adiknya yang masih kecil dan terkadang masih merengek
manja untuk meminta susu. Ya, memang kehidupan yang dahulu Mat dan keluarga Mat punya
sangat mapan karena gaji dari ayahnya. Seperti cerita-cerita klasik, Ibunya lama-lama menjual
rumah dan pindah ke daerah pinggir Jakarta yaitu Depok. Tidak jauh memang dari Jakarta. Tapi
apakah tidak kecewa terusir dari kampung halamannya sendiri?
Kali ini, bukan di senja hari melainkan ketika fajar datang setelah ibadah solat subuhnya
telah usai, di kamar rumahnya yang baru saja Mat naungi (kamar yang jauh lebih kecil dan tanpa kamar mandi dan dinding yang berhias wallpaper di dalam kamarnya nya). Mat bersiap untuk
berangkat sekolah (jarak sekolahnya sekarang lebih jauh jika ditempuh dari rumah baru nya,
karena sekolah lama nya ada di Jakarta). Mat tidak melanjutkan sanggar nya di Kampung Betawi
karena Mat ingin lebih fokus sekolah dan meminimalisir keluar nya energi dari tubuhnya akibat
lebih jauh jarak tempuh ke sekolahnya. Bukan hanya itu, Mat juga bertekad lebih giat belajar
karena tahun depan Mat naik kelas 3 SMA dan ingin melanjutkan mengambil Teknik
Lingkungan (ilmu eksak yang mempelajari teknik untuk melestarikan lingkungan seperti
menjaga ke bersihan air, sanitasi, limbah-limbah dan juga sampah) agar dia bisa dengan tulus
menyumbang ilmu nya untuk membangun lingkungan sekitarnya khususnya lingkungan
kampung halamannya (yang sebenarnya sudah tidak pantas lagi dikatakan sebagai “kampung”)
dan jika sudah sukses menjadi ahli lingkungan, Mat sudah memiliki uang banyak, dia ingin
membuat sanggar untuk memperkuat budaya nya.
Mat yang sekarang bukan lah Mat yang dahulu menggebu-gebu untuk merebut Jakarta
dari mereka. Mat sadar Jakarta ialah Ibu Kota yang dimiliki semua orang di Negeri Nusantara
ini, Mat sadar Jakarta bukan untuk diperebutkan melainkan dijaga, Mat sadar Jakarta kini adalah
Ibu Kota, dan Mat sadar dimana pun dia tinggal, sekalipun itu di luar negeri, Jakarta tetaplah
kampung halamannya dan dia berharap ketika dia kembali ke kampung halamannya, tidak
banyak perubahan yang terjadi dan jika banyak yang berubah, Mat siap memperbaiki bersama
“Mat Mat” lain nya yang mempunyai visi dan misi yang sama untuk membangun kembali
kampung halamannya yang telah berubah. Tentunya membangun perubahan lewat ilmu yang
dituntut dan dipelajarinya, karena Mat tahu bahwa perubahan pasti akan terjadi. Suatu hari kelak
Mat yakin dia akan kembali bukan hanya memperbaiki sistem lingkungan akan tetapi budaya
nya.
“Biarlah. Biarlah “mereka” tinggal sekarang, tapi saya akan terus mengawasi dan akan
menikmati kenyamanannya di akhir cerita kelak.” Kata Mat kepada dirinya sendiri, sembari
menatap rumah-rumah dipinggir jalan yang terlihat dibalik jendela kereta listrik yang sedang dia
taiki untuk berangkat sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H