Oleh : Ahmad Jaelani Yusri
      Film Ngeri Ngeri Sedap besutan sutradara Benedion Rajagukguk telah mengambil perhatian penikmat film Indonesia khususnya anak perantauan yang tinggal jauh dari kampung dan jauh dari orangtua. Tak dapat dipungkiri film ini sangat mengandung bawang dan mengaduk emosi penonton. Entah kenapa ada sesuatu yang berbeda dalam film ini. Tidak seperti film bergenre drama lainnya, Ngeri-Ngeri Sedap membawakan nuansa adat yang kental dan emosional. Konflik yang dihadirkan pun kental dengan ikatan kekeluargaan yang sangat relate dengan kehidupan sehari-hari kita.
      Film ini menceritakan hubungan orangtua dengan anak . Diantara tokoh-tokohnya antara lain Pak Domu diperankan Arswendy Nasution, Mak Domu diperankan Tika Panggabean, Domu (anak pertama) diperankan Boris Bokir, Sarma (anak kedua) diperankan Gita Bhebita Butar-Butar,  Gabe (anak ketiga) diperankan Lolox,  dan sahat anak keempat) diperankan Indra Jegel.  Film bermula saat Oppung Domu (Ibu dari Pak Domu) ingin mengadakan acara sulang-sulang pahopu yakni acara pengukuhan pernikahan secara adat batak bagi pasangan yang sudah memiliki keturunan.  Tentunya acara ini harus dihadiri semua anggota keluarga termasuk cucu-cucu Oppung Domu itu sendiri.
      Alkisah sudah bertahun-tahun anak-anak Pak Domu tidak pulang ke kampung dengan berbagai alasan. Akhirnya dengan siasat, Pak Domu dan istrinya berpura-pura bertengkar dan cerai agar anak-anak mereka pulang kampung. Ide tersebutpun dijalankan sehingga dengan terpaksa mereka pulang ke kampung untuk mendamaikan keduanya. Beragam  cara dilakukan oleh Pak Domu agar anak-anaknya bertahan di kampung sampai acara Oppung Domu selesai. Namun apalah daya ternyata siasat Pak Domu gagal juga. Mak Domu merasa dimanfaatkan dan akhirnya merasa kesal dengan perlakuan Pak Domu yang egois terhadap keluarganya.
      Konflik yang dihadirkan dalam film Ngeri Ngeri Sedap memang layak untuk dibahas. Pertikaian antara orangtua dan anak adalah perkara yang acap kali kita temukan dalam kehidupan nyata. Namun ada beberapa poin penting yang dapat kita intisarikan dari film ini :
- Terlalu kakunya pola asuh ayah kepada anak-anaknya terutama kepada anak laki-laki. Dengan dalih mengikuti pola pengasuhan orang tua terdahulu yang nyatanya tidak efektif. Terbukti dari sikap Pak Domu pada anak laki-lakinya yang sudah dewasa namun dalam hal komunikasi saja sangat kaku dan tak ada kesan hangat.
- Keegoisan seorang ayah yang selalu mengedepankan keinginannya tanpa mempertimbangkan dan tanpa mendengar pendapat anaknya. Terbukti dari percakapan antara Pak Domu dan anak terakhirnya Sahat saat ia izin berpamitan namun tak digubris sedikitpun.
   Dari dua poin tersebut, jika kita tarik ulur maka kita dapat memahami pentingnya pendidikan dan pola asuh pada anak. Ada korelasi yang sangat relevan antara pola pendidikan Pak Domu dengan pola pendidikan yang diajarkan Khalifah Ali Bin Abi Thalib. Menurut Ali Bin Abi Thalib, pola asuh pendidikan anak terbagi menjadi 3 tahapan berdasarkan umur. Dimana umur 1-7 tahun perlakukan anak bak raja, umur 8-14 perlakukan anak bak tawanan dan umur 15-21 perlakukan anak bagai sahabat.  Selanjutnya kita akan membahas tahap 7 tahun terakhir.
- Perlakukan anak sebagai sahabat.
      Pada tahap ini anak secara umum sudah memasuki akil baligh. Orang tua harus mampu memposisikan diri sebagai sahabat juga teladan yang baik secara bersamaan.Selain itu orang tua juga harus membangun kesadaran anak bahwa mereka sudah memasuki usia akil baligh. Pada masa ini, selain mengalami perubahan fisik, anak juga mengalami perubahan mental, spiritual, sosial budaya dan lingkungan yang memungkinkan timbulnya masalah yang harus mereka hadapi.
      Orang tua harus mampu memposisikan diri sebagai sahabat agar anak mau terbuka dan bercerita mengenai apa yang sedang mereka hadapi untuk kemudian mencari solusi bersama. Selain itu, orang tua juga bertugas untuk mengawasi anak tanpa disertai sikap yang otoriter agar anak tidak merasa terkekang.
      Dengan begitu anak akan merasa disayangi, dihargai, dicintai dan akan tumbuh rasa percaya diri dan menjadi pribadi yang kuat sehingga mereka senantiasa mampu melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan. Selanjutnya, orang tua sudah harus mempercayakan tanggung jawab yang lebih berat kepada anak, hal ini penting agar kelak anak akan menjadi pribadi yang cekatan, bertanggung jawab, mandiri dan dapat diandalkan.Hal yang penting lainnya adalah membekali anak dengan keahlian yang akan mereka butuhkan kelak ketika mereka sudah terjun ke masyarakat.
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H