Mohon tunggu...
Ahmad J Yusri
Ahmad J Yusri Mohon Tunggu... Penerjemah - Mahasiswa Fisika UIN Malang

Mahasiswa Biofisika Succesfulness is only result from mature preparation

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Kisah di Pantai Utara Jawa

13 Agustus 2022   15:16 Diperbarui: 13 Agustus 2022   15:29 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Byurrr" suara ombak menerjang tanggul karung yang dijajar sepanjang pantai. Sudah beberapa kali tanggul itu dibangun, lagi-lagi roboh dan tak kuat menahan laju ombak. Beberapa pria kerap menambal tanggul tersebut seminggu sekali, setidaknya itu cukup membantu agar air pasang tak terlalu jauh menyapa kawasan pesisir.

Beberapa ratus meter dari tanggul terdapat pemukiman. Pastinya warga selalu siap siaga terhadap air pasang yang intensitas kedatangannya tak pernah bisa diterka. Sudah banyak rumah penduduk yang meninggikan pondasi dan lantainya. 

Begitupun jalanan selalu tergenang air meskipun hanya beberapa cm, hal itu yang membuat warga berinisiatif membangun jalur kayu yang lebih tinggi dari jalanan sebelumnya.

Termasuk Mbah Darsih, ia berkaca-kaca melihat sawah dibelakang rumahnya. Sudah setahun lebih air tak pernah surut. Kini persawahan tak bisa ditanami padi lantaran sudah bercampur dengan air asin. Masih ingat dalam ingatannya, bagaimana ramainya sawah tatkala masa panen tiba. Kaum bapak yang memanen padi, sedangkan kaum ibu membantu konsumsi. Namun adakalanya kaum ibu ikut membantu.

Mbah Darsih mempunyai anak semata wayang bernama Zainudin. Namun anaknya itu tinggal di Kota Surabaya dan sudah berkeluarga. Sudah beberapa kali Zainuddin membujuk ibunya agar pindah rumah dan ikut dengannya. Tapi apalah daya dan nasib, semanis-manisnya ucapan Zainuddin dalam membujuk, Mbah Darsih tetap keukeuh tinggal di rumahnya. 

Ia enggan pergi dari kampung kelahirannya. Beliau merasa kampung itu adalah jiwanya, tempat ia tumbuh bersama kenangan manis. Tempat leluhur beranak-pinak hingga kini.

"Baiklah mak, kalau mau emak tetap begini. Zainuddin gak bisa maksain " Ucap Zainuddin dalam hati. Meskipun begitu, terkadang ia tetap sesekali mengunjungi  ibunya itu sebulan sekali.

Hari ini kanal berita nasional memberitakan ramalan cuaca di Kabupaten Demak dan sekitarnya. Terdapat badai di pantai utara pulau jawa. Badai siklon tropis yang sangat jarang terjadi. Tentunya ini akan menjadi malapetaka bagi warga pesisir. Banjir rob kiriman dari laut.

Banjir rob bukan hal baru bagi masyarakat pesisir Kabupaten Demak. Alih fungsi lahan, kenaikan muka air laut, dan laju penurunan muka air  tanah diduga menjadi penyumbang terbesar tenggelamnya daerah pesisir. Ditambah lagi dengan menjamurnya pabrik-pabrik berskala besar. 

Kekeliruan infrastruktur dari para teknisi seperti membuat tanggul beton sepanjang aliran sungai itu juga menjadi salah satu penyebab. Bagaimana tidak?, wilayah Demak terdiri dari tanah aluvial yang tercipta dari sedimentasi sungai. Jika sungai dibendung maka sedimentasi tidak bisa menyebar secara alami dan justru akan tertimbun di dasar sungai sehingga terjadi pendangkalan sungai secara cepat.

Siang itu langit tampak gelap, Pak Sandi selaku kepala Desa Kedasih mengajak warganya untuk segara mengungsi. Dapat dipastikan akan terjadi badai yang akan berlangsung lama dan akan menenggelamkan rumah mereka.

"Ayok kita cepat evakuasi warga , ada 10 rumah yang masih berpenghuni " Ajak Pak Sandi pada masyarakat. Mereka menyiapkan untuk sekoci atau perahu kecil untuk berjaga-jaga. Hujan rintik mulai turun. Kentungan dipukul sekeras-kerasnya. "Di mohon untuk seluruh warga dusun Teripang segera mengungsi dan membawa barang secukupnya".  Perintah Pak Sandi menggunakan TOA.

Hujan mulai semakin deras, warga mulai berbondong-bondong pergi ke dusun Merjo yang lebih tinggi. Angin bertiup kencang mengguncang pepohonan. Pohon kelapa, pohon asam, pohon rambutan semua tampak menari-nari bergoyang. Petir menyambar muncul dari tumpukan awan yang bergerak cepat. Hampir dipastikan tak ada orang yang berani ke pantai apalagi melaut. Pasti ombak sedang ganas-ganasnya.

Derap kaki melangkah, semua orang membawa barang secukupnya. Ada yang membawa pakaian, karung beras, perkakas rumah, bantal, radio dan kebanyakan benda dibiarkan di rumah lantaran terlalu berat dan besar.

Sejam sudah berlalu dari masa evakuasi. Warga sudah tiba di pendopo dusun merjo, sebagian menginap di masjid yang didepannya sudah didirikan tenda bekas acara haul kemarin malam. Akhirnya dimulailah pendataan. Ternyata masih ada satu orang yang tertinggal yaitu Mbah Darsih!.

Dalam lamunan hujan, Mbak Darsih terpojok di kamarnya sambil memandang album foto usang. Beliau melihat potret anak, suaminya, orangtuanya dua puluh tahun yang lalu. Ia merindukan keluarga. Rumah peninggalan orangtua ini menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya. Pandangannya menatap pintu kamar, ingatannya tertuju saat suaminya masih hidup. Sehabis panen tiba, ia menggendong sekarung gabah untuk ditaruh di gudang belakang. Meminta dibuatkan kopi, lalu minta dihidangkan singkong hangat kesukaannya.

Ingatannya juga berpendar dimana saat momen lebaran kampungnya sangat meriah, banyak yang berziarah ke pemakaman tua, Berwisata ke pemancingan dan lain-lain . sungguh masa masa yang indah. Hujan tetap deras mengguyur, air mulai naik ke lantai rumah Mbak Darsih yang sudah ditinggikan sebelumnya. Mbah Darsih sangat yakin jika kampung halamannya ini akan kembali normal dan air bakalan surut sampaui jauh. Kehidupan akan seperti sedia kala. Mbak Darsih mengambil tasbih usang berbahan kayu mahoni peninggalan almarhum suaminya. Ia melirih untaian kalimat zikir .

"Semua akan berlalu, semua akan baik baik saja" gumamnya. Di luar rumah jalanan sudah tak keliatan sama sekali. Air sudah melahap bahu jalan. Bahkan rumah yang paling ujung sudah tenggelam setengahnya. Air juga sudah masuk ruang tengah Mbah Darsih.

Ingatannya kembali membuncah, kini beliau ingat masa kecilnya. Bersama teman-teman sebaya, ia menyusuri muara yang berjarak satu kilometer dari belakang rumahnya. Mencari kepiting, ikan tembakul, atau kerang bakau yang suka bersembunyi di balik lumpur. Lalu balik ke rumah menyusuri rawa dan sawah yang menguning. Ia ingat betul dulu di daerah dekat pantai terdapat langgar kuno dengan arsitektur setengah cina setengah joglo. Perpaduan yang unik jika dilihat. Beratap limas segi empat dengan pintu masuk banyak ukiran khas negeri cina. Namun sekarang mushola itu sudah benar benar tenggelam. Sesekali hanya pucuk atapnya yang kelihatan.

Tiga jam berlalu, tim evakuasi yang terdiri dari tiga orang beranjak ke kediaman Mbah Darsih menggunakan perahu sampan. Hujan sangat deras, perlu usaha yang keras untuk mencapai Dusun Kedasih. Aliran air juga tak bisa diragukan, beberapa kali sampan oleng tak seimbang dihantam kayu yang lewat.

"Nah itu, rumahnya mbah " Tunjuk salah satu tim evakuasi. Akhirnya mereka merapat, mengikat sampan di salah satu kayu jemuran . Air sudah setengah pintu masuk rumahnya. "Mbah!, ini kami mau jemput mbah" . Tak ada balasan maupun sahutan. Mau tak mau, salah satu tim merangsek masuk dan memeriksa kamar. Dan benar saja Mbah Darsih sedang meringkuk di atas dipan yang agak tinggi, air hampir menyentuhnya. "Mbah ! ayok ikut kami ke pengungsian"

"Mbah disini aja, hujannya sebentar lagi berhenti kok!" sahutnya. "Ayo mbah ikut, hujannya masih lama ini. Sebentar lagi rumah jenengan bakal tenggelam" Bujuk Pak Sarmin sang ketua tim.

Melihat gelagat Mbah Darsih yang enggan. Pak Sarmin mau tak mau berbohong dan membisikkan.  " Mbah, anak sama cucu jenengan sudah menunggu di pengungsian, gak sabar pengen ketemu katanya". Bujukannya pun berhasil, Mbah Darsih berhasil di bawa ke pengungsian.

Hujan baru reda saat malam hari, dan benar seperti apa yang disampaikan berita nasional bahwa badai benar-benar terjadi. Zainuddin yang berada di surabaya merasa tak enak badan seakan-akan ada sinyal yang memanggilnya untuk pulang. Apalagi setelah melihat berita dimana kampungnya sudah tenggelam oleh air pasang dan banjir kiriman dari hulu. Segera dia memesan tiket kereta tujuan semarang. Ia berangkat saat magrib dan tiba sekitar jam 3 pagi. Langsung saja ia berangkat ke kampung halamannya menggunakan mobil grab. Perlu waktu satu jam untuk sampai di rumahnya.

Di tenda, Mbah Darsih merasa dibohongi. Ia tidak mau makan, padahal badannya kedingingan. Menggigil dari malam tadi. Ia hanya menyelimuti dirinya dengan kain kembennya. "Anakku mana?" Tanya Mbah. Pak Sarmin sebenarnya sudah menghubungi Zainuddin, dan ternyata saat dihubungi dia sedang di kereta.

"Sebentar lagi Mbah" Jawab Pak Sarmin menenangkan. " Ayok makan dulu, ini ada nasi mbah". Bujuknya lagi. Mbah Darsih tetap tidak mau makan sedangkan kondisinya makin mengkhawatirkan.

Sekitar pukul lima atau sehabis subuh. Zainuddin datang ke pengungsian, segera ia mencari ibunya itu di kerumunan warga. Ia mendapatkan ibunya berbaring di pojok pengungsian.

            "Mak, ini Zainuddin anak emak!"

            "Owh, Anakku semata wayang, cucunya dibawa ndak?"

            "Aku sendiri kesini Mak, Syifa dan Dani besok sekolah jadi gak bisa diajak" Jawab Zainuddin .

            Ia memegang kaki Ibunya, sangat dingin. "Emak sudah makan? Ini Zainuddin bawa bubur kesukaan mamak".

"Enggak usah nak, Emak udah kenyang" Jawabnya sambil tersenyum. Beliau nampak bahagia melihat anak satu-satunya yang dibanggakan. "Emak mau makan apa? Sini aku belikan ya mak?" tatap Zainuddin penuh harap.

"Emak Cuma pengen ditemenin kamu, jangan kemana-mana ya. Mak minta didoakan saja dan dibacakan Al-Qur'an"

Zainuddin jadi ingat kalau ia sering diminta untuk menjadi imam sholat di masjid dekat rumahnya karena suaranya yang merdu. "Baik Mak, Zainuddin ambil wudhu dulu enggeh". Setelah itu tampak Mbah Darsih tertidur pulas.

Zainuddin merasa senang diminta ibunya. Dia membacakan surat Al-Kahfi kesukaan ibunya di hari jumat. Ibunya tampak tertidur pulas dan sangat pulas. Zainuddin akhirnya merampungkan bacaannya. Ia mengira ibunya tertidur. Sampai ia izin pergi membeli makanan.

            "Mak, Zainuddin mau keluar sebentar ya"

            "Mak? Aku mau izin bentar" dua kali ucapan tetap tak ada tanggapan

            " Mak, lagi sakit ?"

"Mak, gak papa kan" tanya Zainuddin sambil menyentuh bahu beliau. Tapi ada yang aneh, bahu yang ia pegang ternyata dingin. Lalu ia kembali menyentuh pergelangan tangan dan dingin juga. Lalu menyentuh leher ternyata dingin tak ada denyut nadi lalu terakhir menyentuh dahinya dan dingin juga.

Tak terasa tetesan air mata merembes jatuh di pangkuannya. Matanya sembab. Giginya gemeretak. Tangannya mengepal kuat. Tak tahan menahan, emosinya pun membuncah. Zainuddin menangis. Para pengungsi geger, ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Wafatnya Mbah Darsih menyisakan tangis pilu.

"Emak Cuma pengen ditemenin kamu, jangan kemana-mana ya. Mak minta didoakan saja dan dibacakan Al-Qur'an"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun